Rabu 15 Jan 2020 09:41 WIB

30 Mahasiswa Tunanetra Bandung Bertahan di Trotoar

Perubahan panti menjadi Balai Wyata Guna membuat mahasiswa tunanetra dikeluarkan.

Rep: M. Fauzi Ridwan/ Red: Nur Aini
Penghuni Balai Wyata Guna di Jalan Padjajaran bertahan di depan halaman kantor tersebut, Rabu (15/1). Mereka diharuskan keluar dari balai karena sudah tidak memiliki hak pelayanan.
Foto: M Fauzi Ridwan
Penghuni Balai Wyata Guna di Jalan Padjajaran bertahan di depan halaman kantor tersebut, Rabu (15/1). Mereka diharuskan keluar dari balai karena sudah tidak memiliki hak pelayanan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sekitar 30 mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra dikeluarkan dari asrama Balai Wyata Guna, Kota Bandung sejak Selasa (14/1) malam karena dianggap sudah tidak memiliki hak mendapatkan pelayanan. Mereka pun memilih bertahan di trotoar kantor tersebut untuk meminta kejelasan dan solusi dari pemerintah.

Berdasarkan pantauan, belasan mahasiswa memasang terpal sebagai pelindung dari panas dan hujan. Kemudian, beberapa di antaranya memasang spanduk yang berisi penolakan terhadap regulasi perubahan panti menjadi balai.

Baca Juga

Akibatnya, arus lalu lintas di jalan Padjajaran sempat mengalami kepadatan. Sejumlah aparat kepolisian melakukan pengaturan lalu lintas. Selain itu, sebagian dari mereka menjaga keamanan di sekitar Balai Wyata Guna.

"Kami yang melakukan kegiatan menginap di trotoar Wyta Guna dari kemarin pukul 19.30 terdiri dari mahasiswa tunanetra terdampak dari kejadian ini, yang menjadi korban sebanyak 30 orang," ujar Elda Fahmi (20 tahun) saat ditemui di trotoar Balai Wyata Guna, Rabu (15/1).

Sejak Wyata Guna masih berstatus panti, menurutnya memiliki kewenangan untuk memberikan bimbingan, pembinaan dan pendidikan dasar kepada penyandang disabilitas. Ia mengatakan, pelayanan yang diberikan yaitu pendidikan formal dan vokasional dengan waktu yang sudah ditetapkan oleh Kemendikbud.

Berdasarkan aturan tersebut, penyandang disabilitas tunanetra tingkat SD, Elda mengatakan mendapatkan layanan selama 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun dan perkuliahan 5 tahun. Namun, sejak terjadi perubahan nomenklatur panti menjadi balai waktu pelayanan hanya enam bulan.

"Balai pada dasarnya tidak memberikan pendidikan dasar hanya pelayanan pelatihan lanjutan yang dimana mereka tidak memberikan layanan pendidikan," katanya. Menurut dia, tunanetra yang mengambil pendidikan formal di luar balai harus keluar dari Wyata Guna.

Ia mengatakan, saat ini balai hanya melayani untuk pendidikan vokasional atau lanjutan. Namun, katanya, jika balai hanya menerima siswa lanjutan dari panti saat ini panti sosial tunanetra di Indonesia sudah tidak ada dan berubah menjadi balai oleh Kemensos.

"Tunanetra yang harus mrndapatkan pendidikan dasar SD dan SMP misal sekarang harus dipaksa masuk ke jenjang SMA. (Mereka) diajarin mengenai pertambahan, pengurangan, dan dikasih soal logaritma. Kejadian miris yang terjadi di dunia tunanetra," katanya.

Elda mengatakan pihaknya akan bertahan hingga pihak Balai Wyata Guna dan pemerintah memberikan solusi yang cepat, tepat, dan pas bagi penyandang disabilitas tunanetra. Sebab, menurutnya sejak 2019 sudah melakukan audiensi tetapi tidak ada solusi hingga sekarang ini. 

Elda mengatakan sejak berubah menjadi balai, pelayanan secara kualitas, kuantitas dan durasi waktu kepada tunanetra menjadi berkurang dan terjadi di seluruh Indonesia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement