Rabu 15 Jan 2020 10:24 WIB

BI: Penguatan Rupiah Sejalan Perbaikan Ekonomi Nasional

Perbaikan ekonomi nasional tercermin dari neraca pembayaran, cadev dan inflasi

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Mata uang Rupiah.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Mata uang Rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyebut penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merupakan hal yang wajar. Sebab secara fundamental dalam konteks global, penguatan ini sejalan dengan pergerakan mata uang regional dan emerging market lainnya.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Nanang Hendarsah mengatakan penguatan rupiah masih akan terus berlanjut. Hal ini didorong juga dari perbaikan ekonomi di dalam negeri.

Baca Juga

“Pergerakan mata yang seluruh emerging market seluruhnya menguat maka sudah sewajarnya secara fundamental rupiah terus menguat,” ujarnya dalam keterangan pers, Rabu (15/1).

Nanang menjelaskan perbaikan ekonomi di dalam negeri tercermin dari perbaikan perfoma neraca pembayaran Indonesia, jumlah cadangan devisa yang terus meningkat, inflasi yang terjaga dan rendah di bawah tiga persen.

“Mekanisme penguatan rupiah pada kekuatan supply demand pasar sepanjang pergerakannya manageable. Situasi terakhir, supply devisa banyak bersumber dari investor global dan eksportir,” jelasnya.

Menurut dia meningkatnya supply devisa dari investor global menggambarkan aksi perburuan imbal hasil tinggi (yield hunting) di tengah masih melimpahnya likuiditas global. Hal ini sebagaimana tercermin dari terus membengkaknya aset pada neraca bank sentral AS, ECB, dan BOJ dan rendahnya imbal hasil obligasi di negara.

Aset bank sentral AS, the Fed, terus membengkak mencapai 4,2 triliun dolar AS karena pembelian surat berharga pada saat krisis global 2008 tapi pembelian terus berlanjut terutama dalam bentuk Treasury Bill. Artinya the Fed terus menggelontorkan likuiditas ke pasar. Hal yang sama dilakukan bank sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan.

Saat ini terdapat penempatan dana dana investor di negara maju, terutama di Eropa senilai 11,3 triliun dolar AS dengan imbal hasil negatif. "Jadi wajar bila investor global akan memburu instrument negara Emerging Market dengan imbal hasil yang tinggi seperti Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang saat ini menawarkan imbal hasil 6,85 persen,” ucapnya.

Nanang mencatat dalam sepuluh hari terakhir investor global membukukan net beli Rp 16,7 triliun di pasar sekunder SBN. Namun, investor global tetap akan selektif dengan memilih negara emerging market dengan pengelolaan kebijakan moneter dan fiskal yang konsisten dan prudent.

“Pemerintahan juga menempuh langkah konkrit untuk meningkatkan daya saing perekonomian negara tersebut dan Indonesia saat ini tengah menjadi salah satu pilihan investor global tersebut,” ucapnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement