Rabu 15 Jan 2020 12:03 WIB

Kesedihan di Ujung Batang Rokok

Rokok hanya sebatas mampu memberikan kebahagiaan semu.

Merokok tidak bisa memperbaiki gejala kesehatan mental secara jangka panjang.
Foto: EPA
Merokok tidak bisa memperbaiki gejala kesehatan mental secara jangka panjang.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gumanti Awaliyah, Noer Qomariah Kusumawardhani

Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCE) merilis laporan yang menunjukkan Jumlah perokok di Indonesia mencapai 65,19 juta orang. Angka itu menjadikan Indonesia berada di posisi puncak negara dengan perokok terbanyak di ASEAN.

Baca Juga

Ternyata, emosi negatif seperti kesedihan, stres atau kecemasan bisa memicu seseorang untuk menggunakan zat adiktif seperti halnya merokok. Itu mengacu pada penelitian dari Universitas Harvard Amerika Serikat (AS) yang melakukan sebuah meta-analisis untuk memastikan emosi apa saja yang terkait dengan kecanduan tembakau.

Penelitian diterbitkan dalam Prosiding National Academy Sciences itu, menganalisis empat studi tentang masalah ini untuk melihat apakah emosi negatif tertentu seperti stres, kesal, kemarahan atau kesedihan dapat memperkuat kecanduan tembakau.

Proyek ini secara khusus menganalisis data dari Survei Nasional Amerika terhadap lebih dari 10 ribu orang selama periode 20 tahun, dan tes laboratorium yang meneliti reaksi perokok terhadap emosi negatif. Semua dari empat studi penelitian yang ditinjau menyimpulkan hal yang sama yaitu emosi negatif seperti kesedihan, stres, cemas bisa meningkatkan keinginan untuk merokok.

"Setelah meneliti hasilnya segala jenis perasaan negatif, apakah itu kemarahan, jijik, stres, kesedihan, ketakutan atau rasa malu, akan memungkinkan individu menggunakan obat adiktif," kata penulis utama studi Charles A. Dorison, dilansir Malay Mail, Rabu (15/1).

Jennifer Lerner, salah satu pendiri Harvard Decision Science Laboratory dan co-penulis penelitian, percaya bahwa data yang dijelaskan dalam proyek ini dapat memiliki implikasi yang berguna untuk kebijakan pencegahan kesehatan masyarakat. Misalnya, kampanye kesadaran anti-rokok saat ini dapat dirancang ulang untuk menghindari gambar yang dapat menyebabkan kesedihan dan dengan demikian secara tidak sengaja meningkatkan keinginan untuk merokok di kalangan pengguna rokok.

Dikutip dari laman Mental Health, disebut kalau gagasan merokok bisa membantu mengurangi bahkan menghilangkan stres dikenal sebagai upaya self-medication atau mengobati diri sendiri. Stres bisa mengubah cara seseorang berhadapan dengan tekanan.

Akibatnya muncul gejala fisik, seperti sakit kepala, sesak napas, rasa kesal, cemas, atau galau. Perasaan tersebut dapat mengubah perilaku yang kerap membuat orang merasa membutuhkan merokok lebih banyak.

Studi lain menyebut, sebaliknya merokok justru meningkatkan gejala cemas dan ketegangan. Nikotin sekadar menciptakan sensasi rileks hingga perokok percaya merokok bisa mengurangi stres. Perasaan itu namun hanya sementara dan justru bisa meningkatkan keinginan merokok.

Penderita depresi bahkan dianjurkan untuk tidak merokok. Alasannya, nikotin melepaskan dopamin di otak. Dopamin terkait dengan perasaan positif di diri. Dopamin namun biasanya kadarnya sangat rendah di penderita depresi, rokok pun bekerja sebagai pemicu dopamin sementara di otak penderita depresi.

Tapi rokok memicu otak mematikan saklar penghasil dopamin alami secara jangka panjang. Penderita depresi pun bisa terjerat sebagai pecandu rokok.

Kesimpulannya, merokok tidak bisa memperbaiki gejala kesehatan mental secara jangka panjang. Efek positif merokok secara jangka pendek, ke kesehatan mental, umumnya tidak akan sebanding dengan kerugian merokok dilihat secarta jangka panjang.

Studi baru menunjukkan orang yang merokok atau baru saja berhenti memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan parah setelah strok, daripada rekan mereka yang tidak pernah merokok.

Rokok Hambat Pemulihan

Merokok telah lama dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan kejadian serius seperti serangan jantung dan strok. Tetapi studi baru ini menyoroti bagaimana merokok pada periode sebelum strok berdampak pada arah kehidupan sehari-hari sesudahnya.

Dilansir dari Reuters, Rabu (15/1), dibandingkan dengan bukan perokok, mereka yang menjadi perokok saat strok 29 persen lebih mungkin untuk memiliki hasil fungsional yang buruk setelah itu. Sementara mantan perokok secara keseluruhan tidak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk hasil yang buruk daripada bukan perokok.

Itu tidak berlaku untuk mantan perokok yang telah berhenti dalam dua tahun terakhir. Kelompok ini 75 persen lebih mungkin berfungsi dengan buruk setelah strok.

Tim studi dalam jurnal Stroke mencatat, temuan serupa secara fungsional tergantung pada orang lain tiga bulan setelah strok. “Merokok bisa menjadi faktor penting dan dapat dimodifikasi yang menghambat pemulihan fungsional pascastrok. Pasien, terutama mereka yang berisiko strok, harus berhenti merokok sesegera mungkin,” kata rekan penulis studi, Tetsuro Ago dari Universitas Kyushu di Fukuoka, Jepang.

Sementara sebagian besar pasien dapat memulihkan fungsionalitas sampai batas tertentu setelah beberapa bulan, tingkat pemulihan dapat bervariasi di antara individu. Beberapa orang dapat mengalami defisit yang berlangsung lama dalam fungsi fisik atau mental yang membuat mereka lebih sulit menyelesaikan tugas sehari-hari seperti, berpakaian, mandi dan berjalan.

Semua orang dalam penelitian ini mengalami strok iskemik yang terjadi ketika gumpalan menghalangi arteri yang membawa darah ke otak. Pasien berusia rata-rata 70 tahun dan kira-kira satu dari empat adalah perokok saat ini. 32 persen lainnya adalah mantan perokok dan 43 persen tidak memiliki riwayat merokok.

Di antara perokok saat ini, risiko hasil fungsional yang buruk meningkat dengan jumlah rokok yang dihisap setiap hari. Perokok yang mengisap lebih dari satu bungkus sehari adalah 27 persen hingga 48 persen lebih mungkin memiliki hasil fungsional yang buruk tiga bulan setelah strok daripada bukan perokok. Mereka juga 32 persen hingga 53 persen lebih cenderung bergantung pada orang lain untuk membantu mereka melalui rutinitas harian.

Salah satu batasan dari penelitian ini adalah, para peneliti mengandalkan pasien strok untuk mengingat secara akurat dan melaporkan riwayat merokok atau kebiasaan merokok saat ini. Para peneliti juga tidak memiliki data tentang paparan asap rokok apa pun, yang mungkin mempengaruhi hasilnya.

Namun, hasil menunjukkan berhenti merokok di kemudian hari dapat memantu meminimalkan kecacatan dan gangguan pada kehidupan sehari-hari setelah strok.

“Berhenti merokok mungkin efektif bahkan pada pasien usia lanjut yang telah merokok dalam waktu yang lama. Jika perokok tidak dapat berhenti, mereka harus secara ketat mengelola risiko stroke lainnya, seperti hipertensi dan diabetes, serta harus berolahraga dan menghindari obesitas untuk meminimalkan kerusakan pembuluh darah kecil di otak,” ujar Ago.

photo
Infografis Rokok.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement