REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif memperkirakan sengketa hasil pilkada serentak 2020 yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi akan meningkat dibanding pilkada sebelumnya.
Ketua Kode Inisiatif Veri Junaidi di Jakarta, Rabu (15/1), mengatakan hasil pilkada 2015, dari 264 daerah, lebih dari separuh atau sebanyak 152 calon mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi.
Begitu pun pilkada 2017. Dari 101 daerah, 60 calon kepala daerah mengajukan sengketa.
Sementara untuk pilkada 2018, hanya 72 sengketa yang diterima Mahkamah Konstitusi dari 171 gelaran pilkada. Menurunnya persentase sengketa pada 2018, dinilai dipengaruhi pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang jadwalnya berdekatan.
Perselisihan hasil pilkada berlangsung pada Juli 2018 dan pada saat yang sama dibuka pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD sehingga kandidat memilih menggunakan sumber daya untuk maju dalam Pemilu 2019, daripada bersengketa.
"Kalau 2020 potensinya naik jumlah sengketa di MK karena tidak ada momen berhimpitan sehingga orang konsen menang 2020 nanti. Sengketa MK salah satu jalan," ujar Veri Junaidi.
Ia berpendapat terdapat kesadaran hukum menjadi strategi untuk memenangkan perkara. Sehingga perselisihan hasil pilkada akan menjadi ruang pertarungan akhir untuk menang.
Pilkada serentak 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah. Yakni 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 37 pemilihan wali kota.
Kode Inisiatif menyebut untuk partai politik, pilkada 2020 merupakan pondasi awal menyusun kekuatan menghadapi pemilu serentak 2024. Kemenangan dalam pilkada akan menjadi modal untuk pemenangan pemilu 2024 dengan menggunakan kekuatan kepala daerah dan potensinya.