REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perubahan sosial Budi Radjab beranggapan pencabutan subsidi gas 3 Kg atau gas melon pada semester dua tahun ini mengindikasikan adanya kontradiksi pernyataan pemerintah. Menurut dia, pernyataan di awal pemerintah dengan saat ini kurang relevan dan terkesan tidak tetap.
“Sejak awal gas itu dianjurkan untuk orang miskin, tapi sekarang kenyataanya malah dicabut semua subsidinya,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (15/1).
Dia menekankan, dari kenaikan tersebut akan sangat memungkinkan adanya reaksi gejolak dari sejumlah pihak, meskipun hanya riak-riak. Dia meminta pemerintah tetap konsisten dengan pernyataan awalnya yang memutuskan gas 3 Kg tetap ditujukan pada rakyat kecil.
“Karena gas itu kan memang untuk orang miskin sejak kemunculannya, bagaimana pemerintah ini?” ujarnya.
Budi menegaskan, pencabutan subsidi itu bukan hal yang tepat. Sebaliknya, masyarakat miskin akan disulitkan dengan kenaikan ke harga awal tersebut.
Kepada Republika.co.id dia mengatakan, dengan alasan apa pun rakyat miskin harus tetap diperhatikan. Sebab, pada dasarnya pemberian subsidi memang harus diberikan pada rakyat miskin.
“Dan itu berlaku di negara manapun,” kata pengamat dari Unpad Bandung itu.
Budi menyarankan, pencabutan subsidi bisa dihindarkan dengan mengambil opsi lainnya. Dia mencontohkan, pemberian kupon bagi pembeli gas melon bisa diberlakukan tetap, dengan catatan kupon tersebut menunjukkan status pembeli sebagai warga miskin.
“Itu hanya salah satu contoh, karena memang, ada juga banyak opsi lainnya,” katanya.
Dia menilai, pencabutan tersebut tidak baik untuk dilakukan saat ini. Terlebih, dengan banyaknya masyarakat menengah ke bawah di Indonesia.
“Masyarakat kita belum menjadi kelas menengah seutuhnya, kelas miskin masih ada puluhan juta, dan mereka perlu dibantu,” ujar dia.