REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) dan China menandatangani kesepakatan fase pertama untuk mengakhiri perang dagang pada Rabu (15/1). Perjanjian ini merupakan langkah awal untuk memulihkan hubungan ekonomi kedua negara, yang telah mengguncang pasar ekonomi global.
"Hari ini, kami mengambil langkah penting menuju masa depan perdagangan yang adil dan timbal balik. Bersama-sama kita memperbaiki kesalahan masa lalu. Ini adalah kesepakatan terbesar," ujar Presiden AS Donald Trump dilansir The Guardian, Kamis (16/1).
Trump dan Wakil Perdana Menteri China, Liu He menandatangani kesepakatan itu di East Room, Gedung Putih. Penandatanganan dihadiri oleh para kabinet Trump, anggota parlemen, serta sejumlah pemimpin media dan bisnis.
Fase pertama dari kesepakatan itu, China telah berkomitmen untuk meningkatkan impor dari AS senilai 200 miliar dolar AS termasuk meningkatkan pembelian di sektor pertanian sebesar 32 miliar dolar AS, manufaktur 78 miliar dolar AS, energi 52 miliar dolar AS, dan jasa 38 miliar dolar AS. China juga sepakat untuk mengambil tindakan terhadap pemalsuan dan melakukan tindakan hukum atas pencurian hak kekayaan intelektual.
Sementara itu, AS akan mempertahankan tarif hingga 25 persen untuk barang-barang impor dari China yang diperkirakan bernilai 360 miliar dolar AS. Di sisi lain, China juga diperkirakan akan mempertahankan sebagian besar tarif baru atas produk-produk AS senilai 100 miliar dolar AS.
AS dan China telah terlibat dalam perang dagang sejak 2018, yang menyebabkan dikenakanya pajak impor tambahan atas barang-barang yang diperdagangkan senilai lebih dari 450 miliar dolar AS. Perselisihan dua kekuatan ekonomi dunia itu telah menganggu mata rantai perdagangan global dan mengkhawatirkan investor. Bursa saham AS mencapai rekor tertinggi setelah penandatanganan perjanjian.
Liu mengatakan, perjanjian itu dibuat atas dasar kesetaraan dan saling menghormati. Menurutnya, China telah mengembangkan sistem politik dan model pembangunan ekonomi yang sesuai dengan realitas nasional.
"Ini tidak berarti bahwa China dan AS tidak dapat bekerja sama. Sebaliknya, kedua negara kami memiliki kepentingan komersial yang sangat besar. Kami berharap kedua belah pihak akan mematuhi dan menjaga perjanjian dengan sungguh-sungguh," ujar Liu, dilansir BBC.
Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin menyebut kesepakatan fase satu sebagai perjanjian yang signifikan. Dia mengatakan, pemerintahan Trump dapat memberikan tarif tambahan jika China tidak mematuhi perjanjian pada tahap satu. Pemerintah AS menyatakan, tarif akan tetap berlaku hingga kesepakatan fase dua ditandatangani.
"Ini memberi China insentif besar untuk kembali ke meja perundingan dan menyetujui masalah tambahan yang masih belum terselesaikan," kata Mnuchin kepada CNBC.
Kepala Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer mengatakan, pemerintah fokus pada implementasi perjanjian fase satu untuk jangka pendek. Menurutnya, implementasi pada tahap satu ini dapat berlangsung hinga musim semi.
Sejumlah pebisnis menyambut baik kesepakatan fase satu tersebut. Namun, menurut mereka kesepakatan tersebut arahnya masih belum jelas. Kamar Dagang dan Industri AS mengatakan, sangat penting bagi kedua pihak untuk segera memulai negosiasi pada tahap dua.
"Pekerjaan belum selesai. Perjanjian fase satu harus segera diikuti dengan negosiasi fase dua untuk membahas masalah-masalah yang tersisa," ujar Kepala Dewan Bisnis AS-China, Craig Allen, dilansir Bloomberg.
Media pemerintah China menyambut kesepakatan perdagangan fase satu dengan optimisme, namun tetap berhati-hati dalam implementasinya. Tajuk rencana Global Times yang berbahasa Inggris menuliskan, perjanjian tersebut adalah paradoks yang membuat banyak orang khawatir.