REPUBLIKA.CO.ID, KINHASA -- Pada 16 Januari 2001, Presiden Republik Demokratik Kongo, Laurent Kabila ditembak mati oleh pengawalnya sendiri. Dia terluka parah usai ditembak.
Saksi mendengar suara tembakan selama sekitar satu jam di sekitar rumah puncak bukitnya di Kinhasa. Rumah presiden dikenal sebagai Istana Marmer dan biasanya dijaga ketat oleh tentara dan tank.
"Presiden terkena dua peluru, satu di punggung, satu lagi di kaki," ujar seorang sumber yang dekat dnegan Kabila dilansir BBC History, Kamis (16/1).
Kemudian, sebuah helikopter yang dijaga ketat terlihat mendarat di salah satu rumah sakit utama Kinhasa. Terdapat desas-desus bahwa presiden sudah tewas. Ada pula spekulasi bahwa penembakan itu mungkin merupakan bagian dari upaya kudeta terhadap presiden.
Menteri Luar Negeri Belgia Louis Michel mengatakan, Kabila ditembak oleh pengawalnya sendiri selama pertemuan dengan para jenderal militer yang telah diabaikannya. "Dari tiga sumber, saya telah (mendengar) bahwa Kabila kemungkinan besar telah ditembak mati," katanya.
Namun, para pejabat Kongo bersikeras bahwa presiden hanya terluka dan selamat dari serangan itu. Desas-desus yang beredar, ada ketidakpuasan yang tumbuh di dalam internal tentara selama satu tahun sebelumnya. Kongo juga tengah berperang dengan enam negara memerangi pemberontakan yang didukung oleh Uganda dan Rwanda. Konflik itu telah menelan lebih dari satu juta jiwa.
Kepala Staf, Eddy Kapend muncul di televisi untuk memerintahkan pasukan memblokir bandara utama yang melayani Kinhasa. Dia juga kemudian menutup perbatasan sungai dnegan negara tetangga Kongo-Brazzaville.
Dia membacakan pesan di televisi bahwa pemerintah mendesak warga untuk tenang, tetapi tidak merujuk pada penembakkan tersebut. "Rakyat Kongo membutuhkan ketenangan dan disiplinmu," katanya.
Republik Demokratik Kongo berada dalam kekacauan sejak 1996 ketika pemberontak yang didukung Rwanda melancarkan perang mereka melawan Presiden Mobutu Sese Seko yang sedang sakit. Belum ada kepastian tentang kematian presiden selama dua hari. Namun, putra presiden segera mengambilalih kekuasaan.
Pemerintah transisi mengambilalih kekuasaan pada 2003. Laporan saksi mata tentang penembakan itu menceritakan bagaimana seorang pengawal menembaki presiden selama percekcokan. Pengawal itu sendiri dilaporkan ditembak mati.
Investigasi pemerintah menyimpulkan bahwa pembunuhan itu telah direncanakan sebagai bagian dari rencana internasional untuk menjatuhkan presiden. Setahun setelah penembakan, 80 orang diadili karena merencanakan pembunuhan.
Pengadilan itu dikecam keras oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia. Pengadilan berakhir dengan hukuman terhadap 26 terdakwa, termasuk Kepala Staf Angkatan Darat Eddy Kapend. Semua terdakwa dijatuhi hukuman mati, tanpa hak untuk naik banding.
Pada November 2005, parlemen menyetujui amnesti untuk kejahatan dari 1996 hingga 2003 sebagai bagian dari transisi dari perang saudara ke pemilihan demokratis pada tahun 2006. Amnesti mencakup mereka yang dihukum karena membunuh presiden.