REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Sekelompok pemuda pernah mendatangi Nabi Muhammad SAW lalu menginap 20 hari 20 malam di Masjid Nabawi untuk belajar. Lama berpisah dengan keluarga masing-masing, para pemuda tersebut perlahan mulai merindukan kebersamaan dan berjumpa bersama orang-orang yang mereka kasihi.
Rasa ini pun tampak dari mimik wajah dan bahasa tubuh. Kondisi tersebut dibaca dengan baik oleh Nabi Muhammad yang terkenal sebagai pribadi yang lembut dan penuh kasih sayang. Nabi lalu memerintahkan mereka segera pulang dan berbagi ilmu yang mereka peroleh selama belajar kepada keluarganya.
Kisah itulah yang ditulis oleh Syekh Musthafa al-Adawi dalam bukunya yang berjudul Fiqh al-Akhlak wa al-Mu'amalat Ma'a al-Mu'minin, manusia memiliki perasaan dan sensitivitas yang penting pula dibaca lalu dijaga dengan baik. Membaca perasaan itu bisa ditempuh dengan menangkap bahasa tubuh orang yang bersangkutan. Sehingga, perkara yang kurang mengenakkan akibat ketidakpekaan selama berinteraksi bisa dihindari.
Sering kali, ketika bergaul, kurang memperhatikan perasaan orang lain di sekitar kita. Mengobrol hingga larut, memaksakan kehendak, dan penggunaan bahasa entah disadari atau tidak kerap menyakiti perasaan manusia. Contoh di atas menunjukkan, bagaimana Nabi Muhammad jeli dan sensitif menangkap perasaan para pemuda yang merindukan keluarganya masing-masing.
Nabi Muhammad merupakan sosok yang peka membaca perasaan dan karakter seseorang. Hal ini dijadikan sebagai acuan untuk berinteraksi dengan sesesorang sesuai dengan latar belakangnya masing-masing. Perhatikan, misalnya, sikap yang ditunjukkan Rasul kepada Utsman bin Affan yang dikenal pemalu di kalangan para sahabat.
Seperti yang pernah dikisahkan Aisyah, Abu Bakar pernah menghadap Nabi, ketika itu Baginda Nabi Muhammad hanya memakai baju berbahan wol seadanya sambil berbaring santai. Tanpa segan, ayahanda Aisyah tersebut mengutarakan maksud kedatangannya pada menantunya tersebut.
Pemandangan yang sama terlihat saat Rasul menerima kunjungan Umar bin Khattab. Ketika, tiba giliran Utsman, Nabi meminta Aisyah berbenah dan menyiapkan pakaian yang lebih bagus.
Aisyah pun terheran, mengapa penyambutan Utsman diistimewakan, sedangkan kedua tamu sebelumnya diperlakukan biasa saja. Nabi menerangkan bahwa Utsman merupakan sosok pemalu, bila tidak disambut sedemikian rupa, bisa jadi dia tidak akan berani menyampaikan yang akan diutarakannya.
Bentuk peka menghargai perasaan orang lain, Nabi Muhammad tidak pernah menjatuhkan martabat dan harga diri seseorang di muka umum, sekalipun yang bersangkutan memang bersalah adanya. Suatu ketika, Nabi pernah membuat suatu barang, lalu menjualnya murah.
Sekelompok orang mencibir tindakan Nabi tersebut. Sewaktu berkhutbah, Nabi menegur aksi yang dianggap mencederai perasaan tersebut. Tetapi, sama sekali tidak menyebut nama pelakunya, apalagi menjelek-jelekkan mereka di hadapan masyarakat. Cukup menyebut “ma balu aqwam”, apa gerangan yang menimpa kaum itu, demikian sabda Rasul.
Sikap yang sama juga dilakukan Nabi saat Ibnu Salul menebarkan fitnah atas Aisyah dalam peristiwa hadits al-ifkyang tersohor itu. Dalam sebuah sabdanya, Nabi cukup menyebutkan lelaki yang menyakiti keluarganya, tanpa menyebut nama Ibnu Salul sedikitpun. Padahal, kejahatan itu telah menyudutkan Nabi Muhammad dan keluarganya. Bahkan, sikap Nabi yang menutup-nutupi nama pelakunya tersebut menimbulkan teka-teka di tengah-tengah sahabat. Siapakah sosok yang berani berbuat demikian.
Saling menjaga perasaan diterapkan pula di wilayah kehidupan rumah tangga. Contoh kecil, misalnya, tak menceritakan kekurangan pasangan di ranjang kepada keluarga terdekat sekalipun. Hal ini untuk menghindari ketersinggungan salah satu pihak akibat aibnya terbuka. Kecuali, dalam konteks bertanya perihal hukum syar'inya.
Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berkisah perihal kebiasaannya yang suka mengeluarkan mazi, yakni cairan yang keluar sebelum bersenggama atau saat foreplay. Hendak bertanya langsung kepada Nabi, suami Fatimah itu malu dan khawatir menyinggung perasaan Nabi yang sekaligus ayah mertua. Ali pun mendelegasikan pertanyaan tersebut kepada al-Miqdad bin al-Aswad.
Urgensi membaca perasaan dan kondisi orang lain tersebut juga ditekankan terkait persoalan ibadah. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah mengisahkan bagaimana Nabi menjadikan Nabi Yusya' bin Nun sebagai contoh kepekaan dan kejelian menangkap kondisi dan perasaan seseorang.
Yusya' pernah bertutur, dia meminta para pejuang yang ikut serta di medan perang agar siap fisik dan mental. Ini agar selama berada di peperangan, seorang suami tidak terbayang istrinya, para tukang tak berpikir kapan mesti membangun atap rumah, dan lain sebagainya.
Atas dasar ini pula Nabi Muhammad meminta agar pelaksanaan shalat tidak disatukan waktunya dengan jam makan, misalnya. Ini seperti penegasan hadis riwayat Muslim dari Aisyah. Di riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar, Rasul mengajarkan, bila penunaian shalat Isya berbarengan waktunya dengan makan malam maka lebih baik mendahulukan makan dan tidak perlu terburu-buru.
Karena itulah, kata Syekh al-Adawi, cerdiklah membaca perasaan dan bahasa tubuh seseorang. Perlakukan mereka secara proporsional. Jika mereka menyukai bahasa terus terang, ikuti alur kesukaan mereka. Bila cenderung empat mata, tak ada salahnya mengajak berbicara personal. Dan, jangan sesekali mengumbar atau menjatuhkan orang lain di depan khalayak. Kelihaian menangkap perasaan seseorang dan menyikapinya dengan bijak merupakan bentuk kedewasaan yang nyata.