REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Kawin kontrak menjadi modus baru untuk mendapatkan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terjadi di Indonesia. Modus tersebut lebih banyak ke arah eksploitasi seksual yang berkaitan dengan prostitusi.
"Kalau modusnya memang lebih banyak ke arah eksploitasi seksual yang berkaitan dengan prostitusi dan juga perbudakan modern, tapi yang terbaru itu berupa kawin kontrak," kata Deputi Menteri Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Vennetia Danes, usai membuka acara seminar di Denpasar, Kamis (16/1).
Ia menjelaskan, modus kawin kontrak ini pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya, menimpa perempuan Indonesia yang saat itu menikah dengan laki-laki asal Cina, dan proses tersebut dilakukan secara sepihak.
"Jadi sepihak itu tidak ada melalui Pemerintah ke Pemerintah tapi bagi Pemerintah Cina cara itu dianggap legal karena sudah menikah. Namun, setelah di sana bukan berperan sebagai istri melainkan dipekerjakan seperti budak," katanya.
Ia menjelaskan bahwa korban TPPO ada yang lari dari rumahnya karena menerima perlakuan tidak menyenangkan. Pelarian oleh korban dilakukan sampai ke daerah-daerah perbatasan untuk mencari konsulat Indonesia. Bantuan juga datang dari mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Cina.
"Saat ini ada dua orang yang belum bertemu Konsulat Indonesia karena belum sampai di sana sudah dikejar oleh suaminya dan diajak balik lagi," katanya.
Ia menjelaskan, kesulitan yang dihadapi selama proses penyelamatan korban TPPO yaitu ketika mengurusi proses diplomasi antara dua negara, dan membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebelumnya, pihaknya pernah meminta korban untuk mendatangi Kedutaan Indonesia di Jepang dan meminta untuk melakukan Suaka Politik.
"Paling tinggi modus ini terjadi di daerah Kalimantan karena di sana ada sistem kawin kontrak, yang masuk 10 besar ada di daerah Jawa sedangkan Bali tidak masuk dalam 10 besar,"katanya.
Ia mengatakan ada beberapa modus lainnya yang dapat menjerat korban, yaitu dijanjikan pekerjaan di salon kecantikan, asisten rumah tangga, pekerja restoran, penjaga toko dan pekerjaan lain dengan tanpa keahlian dan dijanjikan upah yang tinggi. Tetapi kemudian korban dipaksa bekerja di industri seks, setelah tiba di daerah tujuan.
Korban yang di eksploitasi tenaga kerjanya, masuk ke dalam kategori kondisi kerja yang sewenang-wenang misalnya jam kerja yang panjang, penyekapan ilegal, upah tidak dibayar atau dikurangi bekerja karena jeratan hutang.
"Bahkan ada beberapa majikan dan agen yang menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para tenaga kerja tersebut tidak mencoba melarikan diri ke luar negeri, namun kenyataannya saat tiba di daerah tujuan, korban malah dipekerjakan dan eksploitasi baik secara seksual maupun eksploitasi lainnya," ucapnya.