Kamis 16 Jan 2020 18:10 WIB

Jaksa Agung Sebut Semanggi I dan II Bukan Pelanggaran Berat

Jaksa Agung menilai sudah ada hasil rapat paripurna DPR soal Semanggi.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Teguh Firmansyah
Jaksa Agung Burhanuddin menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR, di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Jaksa Agung Burhanuddin menjawab pertanyaan wartawan usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR, di komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (16/1/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung dalam paparannya menguraikan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rapat kerja Komisi III DPR RI, Kamis (16/1). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat.

"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," ujar Burhanuddin, Kamis.

Baca Juga

Ia tidak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna yang dimaksud. Burhanuddin hanya menjelaskan secara umum sejumlah peristiwa pelanggaran HAM seperti Talangsari Lampung, Wasior Wamena.

 

Burhanuddin juga mengungkapkan sejumlah hambatan dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Di antaranya, tidak adanya pengadilan HAM Ad Hoc.

"Sedangkan mekanisme dibentuknya atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden," tuturnya.

Selain itu hambatan lainnya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat  adalah ketidakcukupan alat bukti. Kemudian berkas hasil penyelidikan komnas HAM juga belum dapat menggambarkan dua alat bukti yang dibutuhkan Kejaksaan Agung.

"Secara umum penyebab bolak baliknya penanganan pelanggaran HAM berat adalah tidak lengkapnya berkas yg disusun penyelidik Komnas HAM," ungkapnya.

Ia menuturkan penyebab tidak lengkapnya berkas tersebut lantaran penyelidik hanya memenuhi sebagian petunjuk hasil penyelidikan. Selain itu, sulitnya memperoleh alat bukti dan belum adanya mekanisme penghentian penyidikan dalam undang-undang nomor 26 tahun 2000 sebagai upaya penyelesaian dugaan peristiwa pelanggaran HAM berat. Penghentian dimaksud jika penyelidikan disimpulkan tidak cukup bukti.

"Penyelesaian HAM berat dapat dilakukan melalui dua opsi yaitu penyelesaian judicial melalui pengadilan HAM ad hoc dan penyelesaian non yudisial melalui kompensasi rehabilitasi," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement