Jumat 17 Jan 2020 05:46 WIB

Kesepakatan Awal AS-China Belum Berdampak ke Indonesia

Kesepakatan awal AS-China tidak terlalu substansial.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ekspor Impor (ilustrasi)
Foto: Republika
Ekspor Impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, kesepakatan dagang fase pertama yang dilakukan Amerika Serikat (AS) dengan Cina masih belum memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Khususnya melalui kinerja ekspor dan impor.

Pesimisme itu disampaikan Bhima bukan tanpa sebab. Ia mengatakan, kesepakatan dagang awal AS dengan Cina yang berlangsung pada Rabu (15/1) waktu setempat tidak terlalu substansial. "Belum menjawab isu yang sifatnya struktural," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (16/1).

Bhima mengatakan, tidak semua tarif produk AS maupun Cina diturunkan. Dengan kondisi ini, perang dagang sebenarnya masih berlanjut dan sinyal perlambatan ekonomi global pun akan berlanjut.

Kondisi yang masih ‘gamang’ tersebut membawa sikap skeptis dari pengusaha, terutama eksportir bahwa perang dagang benar-benar selesai di tahun 2020. Oleh karena itu, Bhima menekankan, Fase Satu ini tidak akan memberikan efek pada neraca dagang Indonesia. Di antaranya terkait ketersediaan bahan baku ke Cina maupun AS.

Menurut Bhima, dibutuhkan kesepakatan Fase Dua yang lebih konkrit dan membicarakan hal mendasar untuk menyudahi permasalahan ini. "Kami masih tunggu bagian ini," tuturnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, kesepakatan perdagangan awal yang dilakukan AS dengan Cina merupakan langkah baik. Khususnya dalam menciptakan kondisi yang lebih pasti setelah hampir dua tahun terakhir cenderung dinamis. 

"Agar tidak terjadi kepastian yang sangat tinggi," katanya ketika ditemui di Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Kamis (16/1).

Sri berharap, kesepakatan dua ekonomi terbesar dunia tersebut tidak berhenti sampai di Fase Satu. Sebab, ketidakpastian ekonomi berskala global masih membutuhkan langkah lanjutan untuk bisa bergerak ke arah lebih positif.

Pada Rabu waktu setempat, Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Cina Liu He menandatangani kesepakatan fase pertama di East Room, White House. Penandatanganan dihadiri oleh para kabinet Trump, anggota parlemen, serta sejumlah pemimpin media dan bisnis

"Hari ini, kami mengambil langkah penting menuju masa depan perdagangan yang adil dan timbal balik. Bersama-sama kita memperbaiki kesalahan masa lalu. Ini adalah kesepakatan terbesar," tutur Trump seperti dilansir The Guardian, Kamis.

Dalam kesepakatan ini, Cina berkomitmen meningkatkan impor dari AS senilai 200 miliar dolar AS. Termasuk di antaranya pembelian di sektor pertanian (32 miliar dolar AS), manufaktur (78 miliar dolar AS), energi (52 miliar dolar AS), dan jasa (38 miliar dolar AS).

Cina juga sepakat untuk mengambil tindakan terhadap pemalsuan dan melakukan tindakan hukum atas pencurian hak kekayaan intelektual.

Sementara itu, AS mempertahankan tarif hingga 25 persen untuk barang-barang impor dari Cina yang diperkirakan bernilai 360 miliar dolar AS. Di sisi lain, Cina juga diprediksi akan mempertahankan sebagian besar tarif baru atas produk-produk AS senilai 100 miliar dolar AS.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement