REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin mengajukan gagasan untuk mengubah kontitusi demi memperkuat kekuasaannya di parlemen dan kabinet. Langkah ini menandakan Putin ingin membentuk posisi baru untuk dirinya sendiri setelah masa jabatannya berakhir.
Putin menyarankan amandemen konstitusi agar anggota parlemen yang menunjuk perdana menteri dan anggota kabinet. Saat ini presiden yang memiliki wewenang untuk melakukan penunjukkan itu.
Pada saat yang sama Putin berpendapat Rusia tidak akan bisa stabil jika pemerintahan dikelola dengan sistem parlementer. Menurutnya presiden harus tetap memiliki kekuasaan untuk menolak perdana menteri dan menteri-menteri Kabinet yang diajukan parlemen.
Agar presiden dapat mengajukan nama pejabat-pejabat pertahanan dan keamanan yang bertanggung jawab di bidang militer dan penegakan hukum Rusia, Perdana Menteri Dmitry Medvedev mengajukan surat pengunduran diri beberapa jam setelah Putin membahas amandemen konstitusi itu dalam pidato kenegaraannya. Putin berterima kasih atas pengabdian Medvedev. Tapi ia mengatakan perdana menteri itu gagal memenuhi semua hal yang ingin ia capai.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Rabu (15/1) malam Putin mengatakan Medvedev akan menjabat di posisi baru sebagai Kepala Deputi Dewan Keamanan presidensial. Medvedev sudah lama berada di lingkaran terdekat Putin.
Ia menjabat sebagai perdana menteri sejak 2012. Sebelumnya ia menjabat sebagai presiden selama empat tahun dari 2008 sampai 2012. Medvedev mengisi posisi presiden saat Putin menjabat sebagai perdana menteri karena konstitusi Rusia membatasi masa jabatannya.
Medvedev pun patuh untuk mundur setelah mengisi satu masa jabatan presiden. Lalu membiarkan Putin kembali menduduki jabatan tertinggi. Saat itu banyak orang yang sinis dengan manuver politik Putin tersebut dan memicu gelombang unjuk rasa di Moskow.
Putin meminta kabinet Medvedev tetap bekerja seperti biasa sampai kabinet baru terbentuk. Perombakan peta politik mendadak ini mengguncang elit politik Rusia yang masih menerka-nerka niat Putin. Mantan agen KBG itu sudah memimpin Rusia selama 20 tahun.
Ia kerap merahasiakan niatnya hingga detik-detik terakhir. Tokoh oposisi Rusia Alexei Navalny mengatakan berdasarkan pidato kenegaraannya, Putin ingin tetap berkuasa setelah masa jabatannya berakhir.
"Satu-satunya tujuan Putin dan rezimnya adalah untuk tetap berkuasa seumur hidup, menjadikan seluruh negeri sebagai aset pribadinya dan menguasai kekayaan untuk dirinya sendiri dan teman-temannya," cicit Navaly di media sosial Twitter.
Analis independen Masha Lipman mengatakan tujuan Putin adalah mempertahankan agar sistem tetap stabil. Senada dengan Navaly, Lipman juga berpendapat Putin ingin tetap berkuasa.
"Dan untuk Putin untuk mempertahankan kekuasaannnya dan tetap menjadi apa yang ia pikirkan selama 20 tahun terakhir, menjadi politisi paling penting di negara ini, pembuatan keputusan akhir, pemimpin tanpa alternatif yang tak terkalahkan," kata Lipman.
Kremlin mengatakan Kepala Kantor Pajak Mikhail Mishustin dicalonkan untuk menjadi pengganti Medvedev. Parlemen Rusia yang dikenal sebagai Duma telah menyetujui pencalonannya. Mishustin tidak memiliki pengalaman politik. Hal ini mengindikasi Kremlin ingin perdana menteri yang baru menjalankan tugas sesuai keinginan mereka.
Ia sudah bertemu dengan anggota Parlemen dari berbagai faksi. Mishustin berjanji untuk fokus pada isu-isu sosial dan meningkatkan standar hidup rakyat Rusia.
"Kami memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi semua tujuan yang ditetapkan presiden. Presiden ingin Kabinet memelopori pertumbuhan ekonomi dan membantu menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan nyata adalah prioritas bagi pemerintah," kata Mishustin.
Para pengamat menilai mungkin Putin ingin kembali menjabat sebagai perdana menteri lagi setelah meningkatkan kekuasaan di parlemen dan kabinet lalu memangkas wewenang presiden. Beberapa pengamat lainnya berpendapat Putin juga dapat menjadi kepala dewan pemerintah dan pindah ke posisi baru sebelum masa jabatannya berakhir.
Opsi lainnya menjadi kepala unifikasi Rusia-Belarusia. Namun kemungkinan opsi tersebut akan ditolak Presiden Belarusia Alexander Lukashenko, seorang otoriter yang berkuasa selama lebih dari seperempat abad.