REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Prinsip satu negara dua sistem yang dianut oleh Hong Kong di bawah Republik Rakyat China bisa terus berlanjut hingga melewati tahun 2047 yang merupakan tenggat berlakunya. Demikian dinyatakan Pemimpin Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.
“Terdapat alasan yang cukup untuk meyakini bahwa satu negara dua sistem tidak akan berubah setelah 2047,” kata Lam dalam kehadiran perdananya di Dewan Legislatif Hong Kong tahun ini.
Hal itu dapat terwujud selama para pemuda Hong Kong tidak merusak dengan apa yang dia sebut sebagai 'kesalahpahaman temporer'. Lebih jauh, Lam menyebut bahwa kesamaan pemahaman serta penerapan prinsip itu membutuhkan sikap yang menjaga 'dasar dari satu negara' serta penghormatan terhadap 'dua sistem'.
Karena itu Lam meminta para pemuda Hong Kong, yang selama ini berada di garda terdepan dalam aksi unjuk rasa pro-demokrasi yang sering kali berakhir dengan bentrokan, untuk tidak melanggar prinsip karena soal 'kesalahpahaman temporer' tersebut. “Skenario yang mereka khawatirkan tentang hari ini barangkali dapat dipicu oleh pikiran mereka sendiri,” kata Lam lagi.
Dia juga membantah tuduhan kebrutalan polisi dalam menangani aksi unjuk rasa tersebut, yang menjadi alasan lain kemarahan pada pengunjuk rasa. “Saya tidak terima tuduhan bahwa kekerasan oleh polisi terjadi selama menangani unjuk rasa selama tujuh bulan,” kata Lam kepada legislator.
“Sayangnya, dalam beberapa bulan terakhir, kita melihat aksi yang menjelekkan kepolisian Hong Hong, dengan tujuan untuk melemahkan kemampuan penegakan hukum,” ujarnya menambahkan.
Hong Kong, setelah berada di bawah pemerintahan Inggris, dikembalikan kepada China pada 1997 dengan kerangka satu negara dua sistem yang berlaku hingga setidaknya 50 tahun. Kesepakatan penyerahan menyatakan bahwa Hong Kong adalah bagian dari China namun dijamin kemerdekaannya untuk berekspresi dan berkumpul, serta kerangka kerja institusi yang berbeda, termasuk pengadilan independen.
Unjuk rasa mulai timbul pada Juni 2019, yang awalnya dilakukan untuk menentang undang-undang ekstradisi, yang kemudian dibatalkan, namun terus berkembang menjadi pergerakan pro-demokrasi. Selama beberapa bulan belakangan, masyarakat Hong Kong menggelar aksi unjuk rasa atas pandangan bahwa pemerintah China tengah menguatkan genggamannya terhadap wilayah administratif itu.