REPUBLIKA.CO.ID, Gaza saat ini berada dalam kondisi yang tidak berdaya dimana kondisi ekonomi lemah dan banyak pengangguran. Banyak ibu-ibu rumah tangga di Gaza merasa bosan dengan keadaan tersebut dan berusaha membuat usaha.
Um Hamada dan tetangganya yang tinggal di lingkungan bersejarah Zeitun di Kota Gaza memutuskan untuk menyalurkan keterampilan memasak untuk mendukung kondisi ekonomi.
Mereka menerima pesanan makanan di dapur kecil namun efisien. Di dapur tersebut, tersedia bejana besar berisi sayuran yang disebut mashsi.
Selain menyimpan sayuran, di ruangan tersebut juga ada gundukan maqluba yang menjulang tinggi, serta berbagai macam kue dan permen untuk beragam acara khusus.
Semua wanita di lingkungan tersebut belajar membuat hidangan keluarga dengan versi yang sedikit berbeda. Dari latar belakang tersebut, ada beberapa perdebatan yang terjadi saat menyiapkan hidangan.
Namun hal ini tidak memperlambat kerja tujuh pasang tangan yang sigap memotong, mengiris, mengukur, dan mengaduk dalam sebuah harmoni.
Di Beit Tima, Um Ibrahim belajar membuat khisik dari biji gandum yang ditumbuk dengan kasar dalam lesung yang berat. Hasil tumbukan itu dibiarkan berfermentasi dengan yoghurt atau buttermilk.
Dia lalu membuat sebuah adonan dalam bentuk bulatan dan dikeringkan di bawah sinar matahari agar bisa dikonsumsi dalam jangka panjang. Ketika musim dingin tiba, adonan kering itu disusun kembali dan dicampur dengan air hingga halus lalu dimasak dengan daging kambing, buncis, dan nasi.
Cara memasak ini berubah seiring waktu dan kondisi. Kini, di bagian selatan Deir al-Balah di Garara, kishik dibuat dengan tepung terigu dan dibumbui dengan gaya khas Gazan yakni biji dill yang dihancurkan dan dicampur serpihan cabai merah.
Saat dikeringkan, kishik ini dihancurkan di atas tomat panggang yang ditusuk dan dihaluskan dengan bawang putih tumbuk dan adas cincang. Sementara di Khan Yunis, kishik digiling menjadi bubuk dan dicampur dengan minyak zaitun, jus lemon, dan biji dill yang dihancurkan lalu dimakan dengan pasta lembab maupun roti pipih di atas salad.
Makanan pedalaman Gaza cenderung lebih menyukai makanan yang pedas asam dan penuh dengan sayuran dan kacang-kacangan. Namun saat festival, makanannya lebih berat dengan daging dan nasi serta bumbu yang kaya.
Warga Gaza datang dari beragam latar belakang namun memiliki kesamaan menyelesaikan makanan dengan teh manis. Selanjutnya mereka menyantap buah-buahan sesuai musim dan sayuran musim panas yang renyah seperti mentimun dan wortel yang sudah dikupas.
Di kesempatan berbeda saat acara khusus, biasanya disediakan kue-kue kecil sebagai pencuci mulut untuk mengakhiri acara makan-makan. Dari sekian banyak kudapan atau kue yang dibuat di Gaza, tidak ada yang seunik knafa arabiya. Knafa sendiri merupakan makanan penutup yang dibuat di seluruh wilayah.
Knafa arabiya adalah permata yang hanya ada di Gaza. Dibuat dengan selai kacang, mentega, dan remah roti semolina yang dipanggang dengan harum kayu manis dan pala lalu direndam dalam sirup.
Makanan ini tekturnya lebih kasar dan sederhana dari knafa lainnya. Rasanya lebih kaya dan dalam. Metafora ini mungkin cocok bagi wanita-wanita Gaza seperti Um Ramadan, Um Ibrahim, dan Um Hamada.
Mereka sehari-harinya derada di dapur dan berkutat dengan kreativitas di tengah Jalur Gaza yang tangguh. Mereka berusaha untuk memberi masakan khas Gaza dengan hati yang tulus.