REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mendorong perlunya rekontekstualisasi agama-agama Ibrahimiyah sehingga mempermudah pembauran di antara penganutnya yang berbeda serta menghindarkan segregasi.
"Harus diakui, ada norma-norma ortodoksi yang memang masih mendorong segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa), diskriminasi dan konflik," kata Yahya Cholil Staquf yang biasa disapa Gus Yahya, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta saat berbicara dalam forum Abrahamic Faiths Initiative atau Inisiatif Agama-agama Ibrahimiyah di Vatikan, pada 14-17 Januari, Jumat (17/1).
Dia mengajak para pemimpin agama melakukan refleksi sejujur-jujurnya tentang posisi teologis agama masing-masing dalam upaya perdamaian. Adapun istilah Ibrahimiyah banyak merujuk pada agama yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim atau Abraham. Tiga agama itu adalah Islam, Kristen/Katolik, dan Yahudi.
Menurut Gus Yahya, norma-norma itu harus dihadapkan dengan konteks realitas globalisasi abad ke-21 ini, yaitu konflik antaragama tidak mungkin lagi dilokalisir sehingga akan memicu benturan universal yang ricuh dan akan meruntuhkan seluruh peradaban dunia. Nahdlatul Ulama, kata dia, telah melakukan upaya-upaya rekontekstualisasi fikih yang telah dilakukan di lingkungan NU sejak 1984, yaitu ketika Rais Aam PBNU KH Achmad Shiddiq meletakkan kerangka teologis bagi ukhuwwah basyariyyah atau persaudaraan kemanusiaan.
Pada Februari 2019, kata dia, Musyawarah Nasional Alim Ulama NU menetapkan kategori kafir tidak lagi relevan untuk di ruang publik dalam konteks negara-bangsa moderen. "Dimensi sosial-politik dari terma kafir sebenarnya terkait konteks keberadaan satu teokrasi tunggal yang universal yang sekarang sudah tidak ada lagi," kata dia.
Dalam kesempatan itu, Monsignor Khaled Akasheh, seorang uskup Katolik asal Yordania, menyatakan amat terharu mendengar paparan di Vatikan itu. "Ini adalah perwujudan mimpi saya selama 25 tahun," katanya.
Dia menegaskan bukan hanya Islam yang perlu melakukan rekontekstualisasi semacam itu. Semua agama-agama dari keluarga Ibrahimiyah harus melakukannya.
Khaled Akasheh menjelaskan Gereja Katholik telah memulai upaya tersebut sejak didirikannya Dewan Ekumenikal Vatikan Kedua pada masa Paus Johanes XXIII pada 1962. "Agama-agama Ibrahimiyah harus merenungkan kembali hakikat kehadiran dan perannya dalam konteks realitas Abad ke-21 ini," katanya.
Wakil dari kalangan Yahudi ultra ortodoks Israel serta-merta menyambut ajakan itu dengan antusias. Rabinat Adina Bar Shalom, puteri mendiang Rabi Ovadia Yosef yang dulu adalah Rabbi Kepala (Chief Rabbi) Sephardi yang paling berpengaruh di kalangan Yahudi ultra ortodoks di Israel, mengajak untuk menciptakan momentum bersama.
Adina mencontohkan perlunya menggalang pertemuan pemimpin-pemimpin agama Ibrahimiyah untuk mendialogkan topik tersebut. Dia bertekad memobilisasi seluruh komunitas Yahudi ortodoks di Israel untuk ikut serta dan sungguh-sungguh terlibat dalam pergulatan rekontekstualisasi itu.
"Segala kekerasan dan pembunuhan ini harus dihentikan! Seluruh hamparan tanah di muka bumi ini tak sebanding nilainya dengan satu nyawa manusia!" kata dia.
Di akhir forum Inisiatif Agama-Agama Ibrahimiyah disepakati dalam 45 hari ke depan akan diumumkan negara mana yang akan menjadi tujuan kiprah Abramic Faiths Initiative setelah mendapatkan persetujuan dari otoritas setempat.