REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR, Herman Herry menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat. Herman mengatakan, pernyataan Jaksa Agung itu merujuk pada rekomendasi Pansus DPR pada tahun 2001.
"Keputusan politik oleh DPR pada periode tersebut bukan merupakan keputusan hukum seperti kewenangan yang dimiliki yudikatif," kata Herman dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/1).
Herman menegaskan bahwa yang berhak menentukan sebuah kasus dikatakan kejahatan adalah lembaga yudikatif, bukan legislatif. Ia mengatakan
Legislatif tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan hal tersebut.
"Tapi sebagai lembaga politik, legislatif dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah atau aparat penegak hukum terkait hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat," ujarnya.
Politikus PDIP itu mencontohkan, pada tahun 2005 Komisi III pernah merekomendasikan kepada pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti Semanggi I dan II dibuka kembali. Sehingga rekomendasi DPR tersebut merupakan keputusan politik bukan merupakan keputusan hukum.
"Untuk menghindari polemik lebih lanjut, saya akan usulkan Komisi III untuk membuat rapat bersama antara Jaksa Agung, Komnas HAM, dan Menkopolhukam untuk membahas kasus ini hingga tuntas," katanya.
Sebelumya Kejaksaan Agung dalam paparannya di rapat kerja dengan Komisi III menguraikan sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rapat kerja Komisi III DPR RI, Kamis (16/1). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa kasus Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat.
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," ujar Burhanuddin, Kamis.
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut kapan rapat paripurna yang dimaksud. Burhanuddin hanya menjelaskan secara umum sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat seperti kasus Semanggi I dan II, Talangsari Lampung, Wasior Wamena.