Ahad 19 Jan 2020 20:00 WIB

Ketua PBNU Tanggapi Kemunculan Kerajaan Fiktif

Ketua PBNU menilai bangsa sudah sepakati NKRI.

Ketua PBNU Tanggapi Kemunculan Kerajaan Fiktif. Foto: Keraton Agung Sejagat.
Foto: Tangkapan Layar Youtube.
Ketua PBNU Tanggapi Kemunculan Kerajaan Fiktif. Foto: Keraton Agung Sejagat.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Marsudi Syuhud menyatakan sistem kerajaan itu sudah berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui proses panjang. NKRI juga merupakan hasil kesepakatan bersama, sehingga tidak mungkin kembali ke kerajaan.

Hal ini disampaikan Marsudi menyusul adanya kerajaan-kerajaan fiktif di beberapa daerah seperti di Purworejo Jawa tengah, dan juga di Jawa Barat. "Karena sudah sepakat ya kita harus yakin di situ," tutur dia kepada Republika.co.id, Ahad (19/1).

Jika dijanjikan kekayaan dengan menjadi pengikut kerajaan oleh orang yang mengklaim dirinya raja, lanjut Marsudi, maka harus diyakini bahwa orang yang menyebut dirinya raja itu tidak sedang memiliki kekayaan berlimpah. Sebab, apa yang dikatakan hanyalah cerita-cerita dari buku zaman dulu.

"Yang mungkin dia juga tidak memahami bahwa itu ada structuring atau sistem keuangan zaman raja-raja dulu. Yang kemudian tulisan-tulisan yang menceritakan soal berjuta-juta dolar itu sesungguhnya sebuah structuring, bukan sebuah tinggalan nyata yang ada," ungkap dia.

Marsudi juga mengatakan, mayoritas sistem di belahan dunia pada awalnya memang kerajaan. Sehingga ketika kerajaan itu sudah tidak ada, maka ada banyak peninggalannya. Misalnya catatan-catatan tentang kekayaannya (kerajaan tersebut). "Nah, ketika orang zaman sekarang mengetahui dan membaca potongan-potongan sejarah itu, mereka mencampur-adukkannya sendiri dan membuat pemahaman sendiri," tutur dia.

Hal itu kemudian menggugah sebagian orang untuk kembali pada masa kejayaan kerajaan. "Ada yang dirangsang pikirannya dari Majapahit, yang menguasai sampai luar Indonesia. Ada juga yang terangsang oleh tulisan tinggalan yang katanya harta-harta (kerajaan) itu dibuat sebagai kolateral yang ada di Bank Swiss, dan percaya masih ada beribu-ribu triliun sampai sekarang," jelasnya.

Menurut Marsudi, orang yang masih percaya dengannya sebetulnya hanya mengait-ngaitkan cerita yang didapat sehingga membuat kesimpulan uang kerajaan pada zaman dulu masih ada. "Atau berarti perjanjian zaman 500 tahun lalu ini masih ada, yang pada intinya dia mencampur-adukkan potongan-potongan cerita itu," tuturnya.

Dalam kondisi demikian, papar Marsudi, muncul sikap emosional yang menganggap semua kisah-kisah yang didapati itu bisa direalisasikan kembali. Jika direalisasikan, maka harta peninggalan kerajaan terdahulu itu diyakini bisa dicairkan.

Menurut Marsudi, pemahaman seperti itu sebetulnya hidup terus dan selalu ada di tengah masyarakat. "Pemahaman kayak gini hidup terus dari zaman dulu sebetulnya, cerita ini ada terus di masyarakat, sampai sekarang. Hanya saja belum ditunjukkan kepada masyarakat dengan model yang kayak sekarang," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement