REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Parlemen Yordania telah meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk melarang impor gas dari Israel, Ahad (19/1). RUU disahkan dengan suara bulat oleh 130 anggota parlemen.
RUU tersebut akan dirujuk ke kabinet untuk diratifikasi. Namun, rintangan hukum masih bisa mencegah RUU tersebut diberlakukan. Yordania diketahui telah menjalin kesepakatan senilai 10 miliar dolar AS dengan konsorsium Israel-Amerika Serikat (AS) yang dipimpin perusahaan Noble Energy berbasis di Texas.
Perusahaan tersebut akan menyediakan dan memasok gas ke perusahaan pembangkit listrik Yordania. "Perjanjian gas antara Perusahaan Listrik Nasional Yordania dan Noble Energy yang berbasis di Amerika sedang dilaksanakan mulai awal Januari 2020, dan tidak ada perubahan yang diharapkan dalam hal itu," ungkap seorang sumber di industri energi Israel.
Kendati demikian, kesepakatan tersebut diketahui tak dirujuk ke parlemen Yaman untuk disetujui. Israel telah memasok kebutuhan gas Yordania selama 15 tahun. Namun, hal itu kerap mendapat penentangan dari warga di sana.
Cukup banyak warga keturunan Palestina yang kini tinggal di Yordania. Saat Israel berdiri pada 1948, Yordania memang menjadi salah satu tujuan rakyat Palestina yang terusir dari tanahnya. Hingga kini mereka tetap memandang Israel sebagai musuh.
Warga Yordania keturunan Palestina selalu memprotes impor gas dari Israel. Mereka bahkan menyerukan agar perjanjian damai antara kedua negara dibatalkan. Pada November tahun lalu Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan hubungan antara negaranya dan Israel sedang berada pada titik terendah sepanjang masa. Yordania, kata dia, tidak sepenuhnya menuai keuntungan perdamaian yang diharapkan akan menyertai ikatan diplomatik pada 25 tahun lalu.
"Kami belum dapat mencapai kerja sama bilateral pada berbagai isu," kata Safadi saat menghadiri konferensi keamanan di Bahrain pada 23 November 2019. Pernyataannya mengkhususkan pada proyek pipa Laut Merah-Laut Mati yang tertunda dan langkah-langkah Israel membatasi ekspor Yordania ke Tepi Barat.
"Jika Anda datang dan memberi tahu orang-orang bahwa ada dividen perdamaian, mereka bertanya pada Anda, 'di mana itu?'," ujar Safadi.
Dia pun mengisyaratkan bahwa Israel tidak menghormati pengaturan mengenai situs-situs Kristen dan Islam di Yerusalem. Di bawah perjanjian damai, Israel mengakui Raja Yordania Abdullah sebagai penjaga situs-situs tersebut. "Hari demi hari kami terlibat dengan upaya untuk mencoba dan mencegah pelanggaran status quo dari situs-situs itu," ucapnya.
Safadi kemudian mengkritik berlanjutnya kendali militer Israel atas Tepi Barat dan langkah-langkah sepihak, termasuk pembangunan permukiman, yang mengakibatkan negara Palestina sulit terbentuk. "Untuk mencapai perdamaian, pendudukan harus berakhir," ujar Safadi.
Dia menyoroti kurangnya negosiasi damai antara Israel dan Palestina dalam beberapa tahun terakhir. "Dalam dua-tiga tahun terakhir, proses perdamaian sejujurnya telah mati," katanya.