REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Kue keranjang tradisional dengan bahan utama beras ketan (pulut) dan gula merah kelapa merupakan menu wajib masyarakat Tionghoa yang merayakan Imlek atau Tahun Baru China. Masyarakat China di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, tak ketinggalan menyambut Imlek dengan kue keranjang.
Acung (57) salah seorang warga Siantan, Kecamatan Pontianak Utara di Pontianak, Senin (20/1), mengatakan keluarganya selalu menghidangkan kue keranjang saat merayakan Imlek.
"Kue keranjang selalu hadir saat kami merayakan Imlek. Karena itu sudah menjadi tradisi kami sejak turun-temurun, baik untuk sarana ibadah dan untuk menjamu tamu saat merayakan Imlek," ungkap Acung.
Hal, senada juga diakui oleh Alex (47). Dia juga selalu menghidangkan kue keranjang saat merayakan Imlek.
"Tanpa adanya kue keranjang, maka terasa kurang lengkap dalam merayakan Imlek," ujarnya.
Sudah menjadi kebiasaan saat merayakan Imlek, warga Tionghoa menyantap dan membagikan kue keranjang dengan harapan mendapat berkah dan kemakmuran sepanjang tahun. "Kue keranjang juga biasanya digunakan sebagai sesaji kepada leluhur pada tujuh hari menjelang Imlek," katanya.
Sementara, bentuk kue keranjang yang bulat, dan terbuat dari tepung ketan yang teksturnya lengket dipercaya sebagai lambang persaudaraan atau kekeluargaan yang hidup dalam kerukunan dan kesetiaan. Serta hubungan yang erat dan saling tolong menolong dalam menghadapi tahun yang baru.
"Untuk rasanya yang manis melambangkan rasa suka cita, kegembiraan serta harapan akan kehidupan berjalan lancar di tahun yang baru," katanya.
Sementara itu, Achai (60) pembuat kue keranjang tradisional dengan bahan utama beras ketan (pulut) dan gula merah kelapa mengaku, pihaknya mulai banyak menerima pesanan kue keranjang khas Pontianak itu sejak dua pekan menjelang Imlek.
"Pesan kue keranjang tahun ini agak sedikit menurun dibanding tahun lalu. Karena dampak mahalnya bahan baku membuat kue keranjang tersebut, sehingga warga Tionghoa tidak membelinya dalam jumlah banyak seperti tahun-tahun lalu," kata Achai yang menekuni pembuatan kue keranjang warisan dari orang tua dia di Gang Dungun, Jalan Gajahmada Pontianak itu.
Ia menambahkan, usaha yang digelutinya saat ini, merupakan warisan dari orangtuanya, yang sudah berjalan sejak puluhan tahun.
Bahan utama dalam membuat kue keranjang, yakni gula merah, ketan atau pulut dan tepung. "Pembuatan kue keranjang cukup dikukus, tetapi membutuhkan waktu lama dan tidak ada ritual dalam pembuatannya," ungkapnya.
Ia menambahkan, saat ini harga jual kue keranjang satu kilogramnya mencapai Rp 25 ribuan.
"Kue keranjang merupakan kue yang wajib disajikan pada setiap Imlek, seperti ketupat pada Umat Muslim yang merayakan Idul Fitri," katanya. Jelang Imlek, kue keranjang tersebut digunakan oleh warga Tionghoa yang melaksanakan sembahyang dalam merayakan Imlek.
Aji Chen Bromokusumo penulis buku Peranakan Tionghoa Dalam Kuliner Nusantara mengatakan di negara aslinya kue keranjang dikenal dengan sebutan Nien Kao. Berbeda dari kue keranjang di Indonesia, Nien Kao bentuknya panjang dan berwarna putih seperti lontong. Dari segi rasa, Nien Kao sama sekali tidak manis atau cenderung tawar.
Norwegia Salmon Yu Sheng. Makanan khas yang disajikan saat Tahun Baru Imlek. Yu Sheng ini di sajikan oleh Hotel Millenium Jakarta.
Salad Imlek Yu Sheng
Selain kue keranjang, makanan yang wajib ada di meja makanan keluarga peranakan Tionghoa saat Imlek adalah Yu Sheng atau Yee Sang. Yu Sheng merupakan sajian seperti salad yang terdiri dari kombinasi sayur dan daging segar.
Meski menjadi makanan wajib saat perayaan tahun baru China, Yu Sheng ternyata tidak ditemukan di Cina. Menurut Aji, Yu Sheng lebih poluler di kalangan peranakan Tionghoa yang hidup di daerah-daerah pesisir seperti Malaysia dan Singapura. Tidak heran apabila ikan segar dijadikan sebagai bahan utama membuat Yu Sheng.
"Yu Sheng tidak akan ditemui di Beijing atau Shanghai karena mereka tidak suka ikan mentah. Di Indonesia, Yu Sheng baru populer sekitar 15 tahun lalu," ujar Aji.
Pakar kuliner William Wongso mengatakan, Yu Sheng pertama kali berkembang di sebuah restoran di Singapura sekitar tahun 1963. Indonesia lantas mengadopsi makanan tersebut lantaran memiliki filosofi yang cukup unik. Setiap bahan makanan memiliki makna dan mewakili doa serta harapan untuk menjalani tahun berikutnya.
Yu Sheng merupakan makanan berbahan baku utama ikan dan sayuran. Kedua bahan tersebut kemudian diberi bumbu-bumbu semisal kayu manis, wijen, kerupuk, minyak ayam, lada putih dan saus plum. Salmon menjadi ikan langganan yang digunakan dalam hidangan tersebut.
"Sebenarnya ikan lain boleh saja, tapi hanya salmon yang berwarna merah dan dipercaya membawa keberuntungan," kata William Wongso.
Menyantap Yu Sheng juga tidak boleh sembarangan. Berdasarkan tradisi, sebelum menyantap hidangan diharuskan menuangkan taburan bumbu. Selain itu proses pengadukan makanan juga harus diangkat setinggi mungkin.
Proses tersebut menunjukkan doa-doa dan rezeki yang bakal didapat tahun depan. William mengatakan, konon semakin berantakan hidangan Yu Sheng di atas meja kian sedikit keberuntungan yang didapatkan pada tahun berikutnya.
"Jadi ada tradisi yang diturunkan. Pengadukan Yu Sheng juga dilakukan bersama sebagai makna kebersamaan, rezeki melimpah dan berlipat serta keberuntungan," kata William.