Senin 20 Jan 2020 10:35 WIB

Ekonom: Indonesia Butuh Many Data One System di Pertanian

Pemerintah dapat menggunakan banyak data dalam menyusun kebijakan sektor pertanian

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)
Foto: distan.pemda-diy.go.id
Sayuran dan buah produk hortikultura (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, Indonesia harus mulai mencoba memahami atau menduga kondisi suatu komoditas dari berbagai data yang memberikan pengaruh. Tujuannya, agar kebijakan dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Misal, untuk memperkirakan produksi tanaman pangan, pemerintah maupun pihak terkait harus mempertimbangkan perkembangan luas tanam hingga tingkat kesuburan lahan. Artinya, Bayu menekankan, kita tidak hanya menggunakan satu data saja.

Baca Juga

"Tepatnya, many data one system," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (19/1) malam.

Bayu memberikan contoh komoditas padi. Pemerintah dapat memberikan data produksi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan).

Kemudian, dielaborasikan dengan data harga dari Pasar Induk beserta data arus pemasukan beras. Khususnya, berapa ton beras yang masuk dari daerah sentra produksi per hari.

Di samping itu, Bayu menambahkan, data stok beras di Perum Bulog juga dapat digunakan. Kita juga masih menggunakan tambahan informasi stok dari para penggilingan padi melalui Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi). Bahkan, masih perlu ditambah lagi dengan informasi jaringan para petani.

Bayu menjelaskan, semua data tersebut kemudian diolah dalam satu sistem yang bisa diberikan kewenangannya ke satu kementerian/ lembaga. "Dengan begitu, informasinya jadi lebih lengkap," tutur mantan wakil menteri perdagangan dan wakil menteri pertanian itu.

Untuk efektif dalam mengimplementasikan many data one system, Bayu menekankan, kepercayaan menjadi kunci utama. Kementerian/ lembaga, industri maupun pihak kepentingan terkait harus saling percaya pada metode pengumpulan dan hasil data yang dikumpulkan.

Hanya saja, Bayu mengakui, kebijakan ini sulit dilakukan di beberapa komoditas. Sebut saja jagung yang kini masih memiliki keterbatasan data dari sejumlah pihak. Saat ini, data produksi dari BPS ataupun Kementan mungkin sudah terfasilitasi, namun data harga masih beragam.

Selain itu, data terkait stok jagung dan pengaturan aliran komoditas pun sulit didapatkan. Data asosasi produsen jagung yang kira-kira sama dengan Perpadi juga masih terbatas. "Jadi, memang akhrinya, tergantung pada pendapat dan pandangan siapa yang akan dipercaya mengenai data ini," ujar Bayu.

Kemitraan tidak hanya dibutuhkan untuk mensinergikan data. Bayu mengatakan, kemitraan antara pengusaha, pemerintah dan petani juga dibutuhkan untuk memaksimalkan investasi di sektor pertanian. Sementara pemerintah menerapkan kebijakan menguntungkan, pengusaha memiliki modal maupun perencanaan matang dan petani menjadi ‘pelaku’ di lapangan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement