Senin 20 Jan 2020 10:43 WIB

China akan Larang Plastik Sekali Pakai

Kebijakan melarang plastik sekali pakai akan diterapkan di kota-kota besar China.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Wadah yang terbuat dari plastik. Ilustrasi
Foto: Dailymail
Wadah yang terbuat dari plastik. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China akan melarang penggunaan plastik sekali pakai untuk mengatasi masalah lingkungan di negaranya. Kebijakan itu diharapkan dapat diterapkan di kota-kota besar di sana pada akhir 2020.

Dikutip Reuters pada Ahad (19/1), saat ini China sedang membatasi produksi, penjualan, dan penggunaan produk plastik sekali pakai. Kementerian Ekologi dan Lingkungan China menargetkan pada akhir 2020, kantong plastik akan dilarang di semua kota besar. Pelarangan juga akan diberlakukan menyeluruh hingga ke kota-kota kecil pada 2022.

Baca Juga

China pun akan menghapus produk plastik yang digunakan gerai makanan untuk layanan take away atau dibawa pulang. Plastik yang dipakai dalam jasa kurir atau pengiriman barang akan turut dihilangkan.

Hingga akhir 2020, industri restoran akan dilarang menggunakan sedotan sekali pakai. Pada 2025, kota-kota di China harus mengurangi konsumsi barang-barang plastik sekali pakai di industri restoran sebesar 30 persen.

Beberapa daerah dan sektor juga akan menghadapi pembatasan produksi dan penjualan produk plastik. Namun, belum diketahui wilayah mana saja yang akan dikenakan peraturan demikian. China pun melarang impor semua limbah plastik. Penggunaan limbah plastik medis dalam produksi plastik akan turut dilarang.

China membuang 200,7 juta meter kubik sampai ke wilayah perairan pesisirnya pada 2018. Jumlah tersebut naik 27 persen dibanding tahun sebelumnya dan merupakan yang terbesar dalam setidaknya satu dekade.

Menurut Kementerian Ekologi dan Lingkungan China, mayoritas sampah dibuang di daerah delta sungai Yangtze dan Pearl. Keduanya berada di zona industri utama di pantai timur China.

“Saat ini ada beberapa masalah yang jelas dengan pekerjaan pada lingkungan ekologi laut, dengan beberapa daerah tidak menunjukkan kesadaran atau memberi perhatian yang cukup, serta kurangnya inisiatif dan dedikasi yang kuat,” kata Wakil Direktur Departemen Lingkungan Laut di Kementerian Ekologi dan Lingkungan China Huo Chuanlin pada Oktober 2019 lalu.

Kendati demikian, menurut Huo, kondisi keseluruhan di perairan pesisir China, termasuk perihal air limbah yang mengalir ke laut, membaik. Dia mengklaim China tak dapat disalahkan atas krisis pencemaran laut global.

“China adalah produsen dan pengekspor produk plastik terbesar, menyumbang sekitar 30 persen dari total dunia, tapi itu tidak berarti China adalah negara pencemar laut plastik utama,” ujar Huo.

Tahun lalu China mengalokasikan dana 7 miliar yuan untuk menangani sampah dan limbah di negaranya. Salah satu lokasi yang hendak dibenahi lingkungannya adalah Teluk Bohai. Ia merupakan salah satu kanal tersibuk dan terpolusi di China.

China memang berencana membuat sekitar 30 persen perairan pesisirnya terlarang untuk pembangunan. Hal itu merupakan bagian dari skema “garis merah ekologi” nasional. Selain itu, Beijing pun berusaha melindungi sungai-sungai serta lingkungan kota dengan memindahkan industri-industri seperti baja dan petrokimia ke wilayah pantai.

Namun, kelompok dan aktivis lingkungan kerap mengkritik China. Mereka memandang keinginan Beijing untuk melindungi lingkungan tak dibarengi dengan tindakan. Sebab negara tersebut masih membuang sampah atau limbah ke sungai dan laut. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement