REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kasus antraks kembali merebak di Kabupaten Gunungkidul seperti yang sempat terjadi awal tahun lalu. Namun, Dekan Fakuktas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ali Agus menilai, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir.
Ia menekankan, yang terpenting masyarakat harus tetap siap siaga. Ali menerangkan, Antraks sendiri merupakan penyakit yang bersumber dari binatang dan penularannya bukan dari manusia ke manusia.
Penularan biasanya terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan-hewan yang sakit atau daging hewan yang terkontaminasi. Serta, dapat pula karena mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora antraks.
Setelah kejadian ini, Ali berpendapat, perlu dilakukan pembatasan mobilisasi orang dan ternak. Tujuannya, untuk mengurangi risiko penularan dan langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity.
"Yang paling sederhana, bagaimana orang yang keluar dan masuk kandang itu diberi disinfektan," kata Ali, beberapa waktu lalu.
Penularan antraks ke manusia dapat termanifestasi dalam tiga macam. Ada antraks kulit akibat kontak langsung dengan binatang yang sakit atau mati, dan antraks pencernaan jika mengonsumsi daging yang terkontaminasi antraks.
Satu lagi, antraks pernafasan melalui spora antraks yang terhirup. Dari ketiganya, yang paling sering terjadi antraks kulit yang memiliki gejala-gejala seperti demam, bengkak, dan luka yang memunculkan kopeng menghitam tebal.
"Antraks jenis ini relatif tidak fatal, lebih berbahaya antraks pernafasan dan pencernaan," ujar pengajar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Riris Andono Ahmad, menambahkan.
Ia meminta masyarakat membangun kesadaran yang lebih besar tentang penyakit ini, termasuk cara mengatasinya. Apalagi, bila seekor ternak telah menunjukkan gejala-gejala antraks seperti demam tinggi, gelisah dan tidak mau makan.
Lalu, mati dengan keluarnya darah hitam dari lubang tubuh atau mati secara mendadak. Pemilik ternak perlu menghubungi puskeswan atau petugas kesehatan hewan terdekat dan tidak justru menyembelih hewan itu untuk dijual atau dikonsumsi.
"Di DIY sendiri sebagian besar kasus terjadi karena ketika seekor ternak sakit atau mati masyarakat merasa eman-eman (sayang-sayang) dan mencoba, daripada mati sia-sia, disembelih untuk dijual dengan harga murah atau diberikan kepada masyarakat sekitar," kata Riris.
Ia menegaskan, tindakan ini justru meningkatkan resiko penyakit karena dengan menyembelih hewan akan menyebarkan spora ke lingkungan. Karenanya, Riris mengimbau tenaga kesehatan yang ada di layanan primer meningkatkan kewaspadaan atas tanda-tanda antraks.
Kemudian, segera koordinasi dengan Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Senada, pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Wahyuni mengingatkan, antraks disebabkan bakteri bacillus anthracis yang mana spora dari bakteri ini bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun.
"Karena itu agar hewan yang diduga terjangkit penyakit ini tidak boleh disembelih atau dibuka, kalau hewan disembelih darahnya akan ke luar, dan di situ bakterinya akan ke luar. Begitu berhubungan dengan udara, dia akan membentuk spora yang bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun," ujar Wahyuni.
Wahyuni menerangkan, karakter bakteri itu membuat pengendalian penyakit antraks tidak mudah karena sulit untuk mengetahui letak spora bakteri yang ke luar dari hewan. Untuk itu, peternak-peternam perlu pula melakukan penanganan bangkai hewan secara tepat.
Ia menyampaikan, di beberapa negara penanganan bangkai hewan yang terjangkit penyakit dilakukan dengan insenerator untuk menghancurkan bangkai secara menyeluruh. Namun, alat tersebut belum bisa diterapkan untuk kasus-kasus penyakit ternak di Indonesia.
Alternatif yang dapat dilakukan dengan mengubur bangkai di lubang dengan kedalaman minimal dua meter yang ditutup dengan tanah dan diberi disinfektan. Area itu sebaiknya diplester atau dilapisi dengan semen sebagai penanda kalau di tempat tersebut pernah terjadi kasus antraks.
"Dan tempat itu tidak boleh dibangun ataupun digali," kata Wahyuni.
Sebagai pencegahan, khususnya di daerah di mana penyakit antraks telah jadi endemik, perlu vaksinasi ternak dan pengawasan berkala terhadap hasil dari vaksinasi tersebut. Ia menyarankan agar vaksinasi dilakukan dua kali dalam setahun karena antibodi mulai menurun setelah enam bulan.