REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin berjanji akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti Trisakti, Semanggi I dan II. Hal itu disampaikannya dalam rapat antara Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Komisi III DPR.
"Kami sebagai jaksa untuk penyidik kami siap menuntaskan perkara yang ada. Tapi dengan satu catatan bahwa perkara itu memenuhi syarat materil dan formil," ujar Burhanuddin di ruang rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/1).
Ia mengatakan, pihaknya akan kembali melakulan penelitian terhadap berkas-berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat untuk mengetahui apakah telah memenuhi syarat materil dan formil. Kejakgung juga akan berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk menyelesaikannya.
"Insya Allah kami akan kerja sama dengan Komnas HAM, mungkin difasilitasi Menko Polhukam," ujar Burhanuddin.
"Yakinlah keinginan kami untuk tuntaskan ini dan tidak ada ingin memilah ini masuk ke sini, apalagi hal yang berkaitan dengan politik," lanjutnya.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari menjadi pihak yang mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Bahkan, ia menyayangkan pernyataan Burhanuddin yang menyebut kasus Semanggi I dan II bukan masuk ke dalam kriteria tersebut.
"Kita melihat adanya fakta di 2001 ada keputusan politik, lalu di 2002 ada satu hasil dari proses hukum, maka saya berharap Kejaksaan tidak bersandar pada keputusan politik saja," ujar Taufik dalam rapat dengan Kejaksaan Agung.
Menurutnya, keputusan terkait hal tersebut yang dikeluarkan DPR periode 1999-2004 yangpada Juli 2001, tidakah tepat. Sebab, Komnas HAM telah mengeluarkan laporan akhirnya yang mengumumkan bahwa telah terjadi kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II.
"Saat ini proses penyelidikan dan penyampaian berkas memang bolak balik dan masih berjalan. Saya minta Jaksa Agung tidak berhenti di sana," ujar Taufik.
Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi III Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani. Menurutnya, putusan yang dihasilkan oleh Pansus DPR pada tahun 2001 itu bukan sesuatu yang bersifat final.
"Sejak keluarnya rekomendasi DPR itu, juga kemudian dilakukan penyelidikan yang lebih mendalam oleh Komnas HAM. Kemudian Komnas HAM telah menyerahkan hasilnya ke Kejagung," ujar Arsul.
Banyak temuan Komnas HAM yang dinilai Arsul belum menjadi rujukan DPR saat itu. Sehingga, hasilnya saat itu memutuskan bahwa kasus Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
"Banyak hal dan temuan dalam hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum menjadi pertimbangan ketika DPR mengeluarkan rekomendasinya," ujar Arsul.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Fraksi PDIP Herman Herry menuturkan bahwa, Indonesia memiliki aturan ketatanegaraan dan konstitusi. Ia menjelaskan, sebagai negara hukum, yang berhak menentukan sebuah kasus termasuk dalam kejahatan atau bukan adalah lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).
Untuk mengatasi polemik tersebut, Herman mengusulkan agar Komisi III DPR segera menggelar rapat bersama dengan Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Kemenkopolhukam. Agar ditemukannya keselarasan terkait sejumlah kasus.
"Untuk menghindari polemik lebih lanjut, saya akan usulkan Komisi III untuk membuat rapat bersama antara Jaksa Agung, Komnas HAM, dan Menkopolhukam untuk membahas kasus ini hingga tuntas,” ujar Herman.
Politikus PDIP itu menjelaskan, DPR sebagai sebagai lembaga legislatif tak memiliki kewenangan untuk memutuskan sebuah kasus. Pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum atau pemerintah.
Salah satu contohnya, saat Komisi III merekomendasikan pimpinan DPR RI agar membuka kembali kasus Trisakti Semanggi I dan II, pada 2005. "Jadi, rekomendasi DPR RI itu merupakan keputusan politik bukan merupakan keputusan hukum," ujar Herman.