Senin 20 Jan 2020 23:20 WIB

Survei: Mayoritas Masyarakat Dunia Nilai Kapitalisme Merusak

Kesenjangan pendapatan menumbuhkan ketidakpercayaan pada kapitalisme.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Demonstrasi anti-kapitalisme, ilustrasi
Foto: Reuters
Demonstrasi anti-kapitalisme, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, DAVOS -- Jajak pendapat yang dilakukan perusahaan hubungan masyarakat Edelman menunjukkan meningkatnya ketimpangan pendapatan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap kapitalisme di seluruh dunia. Survei tersebut menunjukkan sebanyak 56 persen responden berpikir kapitalisme lebih banyak merusak dibandingkan bermanfaat.

Padahal pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan naik di banyak negara. Temuan yang diungkapkan menjelang pertemuan World Economic Forum di Davos itu dapat mengguncang eksekutif bisnis dan pemimpin politik.

Baca Juga

"Kita hidup dalam paradoks kepercayaan, sejak kami mulai mengukur kepercayaan,  pertumbuhan ekonomi mendorong tingkat kepercayaan," kata CEO Edelman Richard Edelman, Senin (20/1).

Edelman telah melakukan jajak pendapat tentang kepercayaan selama 20 tahun. Di beberapa wilayah seperti Timur Tengah dan Asia tingkat pertumbuhan ekonomi dan kepercayaan pada sistem kapitalisme tidak berubah.

Tapi jajak pendapat yang dilakukan Edelman menunjukan meningkatnya ketimpangan ekonomi di negara-negara maju telah berkontribusi dalam melemahnya kepercayaan pada sistem kapitalisme.

"Ketakutan adalah harapan yang mencekik, dan sekarang asumsi lama yang menyatakan kerja keras membawa pada kenaikan kelas tidak valid," kata Edelman.

Edelman mengatakan korupsi, perilaku buruk perusahaan dan berita palsu telah menggerogoti kepercayaan pada kapitalisme. Selain itu ditambah oleh ketakutan terhadap otomatisasi di sejumlah lapangan kerja, buruknya pelatihan, imigrasi dan penurunan ekonomi.  

Jajak pendapat Edelman menunjukkan sebanyak 83 persen pegawai di seluruh dunia khawatir akan kehilangan pekerjaan mereka. Jajak pendapat itu juga memperlihatkan orang-orang diseluruh dunia lebih percaya pada institusi bisnis dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam mengatasi isu-isu global.  

Hal itu menjadi pukulan telah bagi pemerintahan yang didera populisme dan politik partisan. Isu perubahan iklim juga menjadi isu paling penting.

Pemimpin-pemimpin bisnis tidak dapat lagi mengesampingkan isu-isu yang diperhatikan konsumen, karena merek mereka dapat dengan mudah tercemar bila dianggap melakukan sesuatu yang tidak etis.

"Resiko merek tertelan semakin besar dan CEO-CEO mendapat mandat dari konsumen dan karyawan untuk bertindak," kata Edelman.

Baru-baru ini CEO BlackRock Laurence Fink mengatakan perusahaannya akan menempatkan perubahan iklim dan isu keberlanjutan sebagai jantung pendekatan investasi mereka. BlackRock perusahan investasi yang mengelola uang investor sebesar 7 triliun dolar AS

Tidak lama setelah aktivis menggelar demonstrasi di depan kantor mereka, perusahaan investasi Credit Suisse mengatakan akan berhenti berinvestasi di pabrik batu bara yang baru.

Sementara itu, perusahaan raksasa Unilever yang memproduksi deodoran dan conditioners telah berjanji mulai 2025 mereka tidak akan menggunakan plastik baru atau virgin plastic.

"Bisnis menjadi katalis untuk perubahan," kata Edelman.

Jajak pendapat yang dilakukan dari 9 Oktober sampai 18 November 2019 melibatkan 34 ribu orang dari 28 negara. Mereka diwawancara melalui internet selama 30 menit. 

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement