Selasa 21 Jan 2020 18:11 WIB

Honor Karyawan dan Rebranding TVRI Jadi Alasan Helmy Dipecat

Dua alasan utama pemecatan Helmy Yahya karena honor belum dibayar dan rebranding

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Esthi Maharani
Dewan Pengawas LPP TVRI, Supra Wimbarti, Pamungkas Trishadiatmoko, Arief Hidayat Thamrin (Ketua), Maryuni Kabul Budiono, Made Aty Dwie Mahenny memberikan penjelasan soal pemecatan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya di Komisi I DPR RI pada Selasa (21/1).
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Dewan Pengawas LPP TVRI, Supra Wimbarti, Pamungkas Trishadiatmoko, Arief Hidayat Thamrin (Ketua), Maryuni Kabul Budiono, Made Aty Dwie Mahenny memberikan penjelasan soal pemecatan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya di Komisi I DPR RI pada Selasa (21/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pengawas TVRI membeberkan sejumlah alasan yang menyebabkan Helmy Yahya sebagai Direktur TVRI pada Komisi I DPR RI pada Selasa (21/1). Diantaranya honor karyawan yang belum dibayar hingga ketidaksesuaian rebranding TVRI.

"Fakta bahwa masih terdapat SKK tahun 2019 yang belum terbayar dan terutang tahun 2020 dalam anggaran jasa profesi untuk SKK honor penyiar," ujar Ketua Dewas TVRI, Arief Hidayat Thamrin dalam paparannya.

Arief mengungkapkan Direksi TVRI pimpinan Helmy Yahya sempat terlambat membayar honor Satuan Kerabat Kerja (SKK) ke karyawan dalam rentang waktu Mei-Desember 2018. Menurut Dewas, nilainya mencapai Rp 7,6 miliar. Kondisi itu menyebabkan banyak karyawan berutang hingga tak pulang ke rumah selama sepekan.

Selain itu, rebranding TVRI juga dianggap tidak sesuai. Anggota Dewas Maryuni Kabul Budiono menjelaskan, pada tahun 2019 dilakukan proses implementasi dan aplikasi proses rebranding dengan biaya menggunakan anggaran Direktorat Program dan Berita, Direktorat Pengembangan Usaha dan Direktorat Umum sebanyak Rp 8,2 miliar.

Sebanyak 6,2 miliar dari Direktorat Program dan Berita itu, kata Kabul sebagian diperuntukkan untuk honor satuan kerabat Kerja SKK dan berdampak pada produksi siaran. Rerun (penayangan kembali) program non berita pun terjadi sekitar 50 persen dan inefisiensi program terjadi.

"Artinya, Rebranding tidak sesuai RAKT (Rencana Anggaran Kegiatan Tahunan)," kata Kabul.

Selain dua hal itu, Dewas juga menyampaikan sejumlah hal lain, di antaranya permasalahan potensi utang yang diakibatkan penayangan Liga Inggris, dan Kuis Siapa Berani. Dewas juga menuding adanya penempatan posisi secara tidak wajar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement