REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Di sebuah lapangan berlumpur di Myanmar barat, ratusan kontainer yang dikirim dari China mangkrak. Ratusan kontainer berwarna abu-abu itu dikirim dua tahun lalu, dan rencananya digunakan untuk membangun perumahan yang cepat dan murah bagi pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh.
Deretan kontainer di dekat kota Maungdaw, Rakhine menjadi saksi bisu atas gagalnya repatriasi atau pemulangan kembali pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Para pengungsi Rohingya melarikan diri pada 2017, ketika terjadi operasi militer besar-besaran oleh militer Myanmar. Operasi tersebut telah menewaskan ratusan ribu orang dan menghancurkan rumah-rumah warga Rohingya.
China telah memposisikan diri sebagai mediator utama dalam menyelesaikan krisis Rohingya yang berkepanjangan di Myanmar. Selama dua tahun terakhir, para pejabat China telah menjadi perantara tiga pertemuan antara pemimpin kedua negara. China juga melakukan kunjungan ke kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh. Hal itu termasuk menyewa truk untuk membawa pulang pengungsi Rohingya, dan membujuk mereka dengan uang tunai. Namun, semua upaya yang dilakukan China telah sia-sia.
Persoalan Rohingya mendapatkan perhatian baru ketika Presiden China Xi Jinping mengunjungi Myanmar dalam kunjungan kenegaraan selama dua hari. Dalam sebuah pernyataan, Cina kembali menegaskan kesediaannya untuk terus melakukan mediasi. China mengklaim mediasi yang dilakukan telah membuahkan hasil.
"Kami telah memfasilitasi dan menjadi tuan rumah tiga pertemuan menteri luar negeri antara China, Myanmar, dan Bangladesh untuk pemulangan awal. Upaya kami membuahkan hasil," ujar Wakil Menteri Luar Negeri China, Luo Zhaohui dalam konferensi pers pada 10 Januari, sebelum kedatangan Xi ke Myanmar.
Kementerian Luar Negeri China mengatakan pada Selasa (21/1) ada kemajuan positif dalam pertemuan-pertemuan antara pemimpin Bangladesh dan Myanmar. Dua di antara pertemuan tersebut dihadiri oleh pejabat tinggi PBB. Dalam sebuah pernyataan, pertemuan itu merupakan perkembangan positif yang dapat diraih dengan susah payah dan harus didukung oleh komunitas internasional.
Seorang pejabat Kementerian Kesejahteraan Sosial Myanmar, Ko Ko Naing mengatakan, China telah berupaya keras untuk membantu Myanmar terutama upaya pembangunan di Rakhine. Menurut Naing, kurangnya pembangunan di wilayah tersebut lebih penting ketimbang kohesi sosial.
"Kami melakukan banyak investasi di sana. Jalannya sudah lebih baik," ujar Naing.
Seorang pengusaha setempat yang bertugas merakit kontainer-kontainer dari China mengaku bahwa tidak ada gunanya dia melanjutkan pekerjaan itu. Selama dua tahun belum ada pengungsi Rohingya yang tinggal di rumah-rumah kontainer tersebut.
"Orang-orang belum tinggal di rumah-rumah ini selama dua tahun. Saya akan berhenti membangun tahun ini. Situasinya belum berubah kan?," ujar pengusaha yang enggan disebutkan namanya.
Upaya besar terakhir Beijing untuk memulai repatriasi Rohingya adalah pada Agustus tahun lalu. Tepatnya setelah Myanmar menyusun daftar 3.000 warga Rohingya yang setuju untuk kembali ke kampung halaman mereka di Rakhine. Namun, upaya tersebut gagal lagi karena pengungsi Rohingya yang terdaftar enggan pulang ke Myanmar.
Ketika itu, seorang diplomat China mengatakan bahwa seseorang perlu mengambil langkah awal untuk memulangkan pengungsi Rohingnya. Sementara, para pejabat Myanmar menunggu di perbatasan dan tidak ada satu pun pengungsi yang pulang secara sukarela.
Gagalnya upaya China untuk melakukan mediasi membuat Myanmar pernah menolak gagasan yang diajukan Beijing. Tahun lalu, Myanmar menolak proposal China yang mengusulkan agar para pengungsi Rohingya dapat mengunjungi Rakhine untuk melihat sendiri kondisi di wilayah tersebut. Harapannya kunjungan itu dapat membuat pengungsi Rohingya bersedia pulang ke kampung halamannya.