REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Natsir Zubaidi menyatakan belum ada jumlah pasti khatib di Indonesia, meskipun ia telah membentuk ikatan Khatib Indonesia. Menurut dia, kekurangan khatib masih kentara di beberapa daerah yang jauh atau terpencil dari pusat kota.
“Masalahnya karena transportasi yang kurang dan sulit. Jadi perlu ada subsidi silang untuk membantunya,” ujar dia ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (21/1).
Natsir mengatakan, bantuan finansial tersebut bisa diberikan oleh masjid lainnya yang lebih sejahtera dalam pendapatan infak atau sedekah, termasuk dari dana lembaga filantropi. Dia mencontohnkan, Masjid Al-Azhar dalam beberapa kesempatan, seperti Shalat Id atau acara khusus lainnya kerap mendapatkan dana yang ditaksir lebih besar daripada masjid lainnya di Indonesia.
“Bahkan (pendapatan) itu lebih besar dari Masjid Istiqlal. Dan itu bisa disalurkan, sehingga bantuan bisa sampai ke daerah. Jadi harus visioner,” katanya.
Ia tak menampik jumlah ideal khatib di setiap masjid merupakan hal relatif. Sebab, menurut dia masjid di Indonesia tak bisa diseragamkan karena ada budaya daerah masing-masing yang berperan di dalamnya.
“Intinya, kepengurusan dan jamaah serta khatib harus dimanfaatkan, utamanya dengan akuntabilitas dan transparansi yang harus selalu dijunjung,” katanya.
Natsir menegaskan, kondisi khatib dan khutbah di Indonesia dinilai menyesuaikan dengan kultur dan historis di setiap tempatnya. Khusus Indonesia, ada sistem swadaya atau gotong royong yang membantu setiap aktivitas di masjid, termasuk kondisi khatib itu sendiri.
“Bahkan, 99 persen masjid di Indonesia dibangun oleh masyarakat Islam Indonesia itu sendiri,” ujar dia.