Rabu 22 Jan 2020 10:09 WIB

Luksemburg Desak UE Akui Negara Palestina

Saat ini prospek solusi dua negara Israel-Palestina sedang sekarat.

Wanita Palestina berkumpul di dekat rumahnya yang hancur di selatan Jalur Gaza, Senin (13/1). Memasuki musim dingin warga Palestina harus berjuang melawan hawa dingin yang akan mecapai puncaknya pada bulan ini.
Foto: Mohamed Salem/Reuters
Wanita Palestina berkumpul di dekat rumahnya yang hancur di selatan Jalur Gaza, Senin (13/1). Memasuki musim dingin warga Palestina harus berjuang melawan hawa dingin yang akan mecapai puncaknya pada bulan ini.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn mendesak Uni Eropa untuk secara resmi mengakui Palestina sebagai negara. Menurut dia, hal itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan proses perdamaian antara Palestina dan Israel.

Asselborn mengatakan, saat ini prospek solusi dua negara Israel-Palestina sedang sekarat. Ia juga menyebutkan rencana Israel untuk menguasai Lembah Jordan.

Baca Juga

"Jika Israel sampai pada titik ini, kita akan mengalami situasi yang sama seperti yang ditemui negara lain pada 2014," kata dia saat berbicara di depan Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa pada Senin (20/1), dikutip laman al-Araby.

Asselborn berupaya membandingkan pendudukan Israel atas tanah Palestina dengan aneksasi Krimea oleh Rusia pada 2014. Apalagi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersumpah bahwa permukiman Israel di Tepi Barat akan menjadi bagian dari Negara Israel.

Menurut Netanyahu, tak ada perjanjian apa pun dengan Palestina yang akan bisa mengevakuasi warga Israel dari permukiman itu.m Sementara itu, Palestina ingin mendirikan negara dengan wilayah terdiri atas Jalur Gaza dan Tepi Barat serta Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka.

Ini bukan kali pertama Asselborn meminta Uni Eropa mengakui Negara Palestina. Pada November tahun lalu, dia sempat menyerukan hal serupa. Kala itu Asselborn mengatakan bahwa mengakui Negara Palestina bukanlah sebuah bantuan.

"Namun, lebih sebagai pengakuan hak rakyat Palestina untuk negaranya sendiri," ujarnya, seperti dilaporkan laman Jerusalem Post.

Menurut Asselborn, mengakui Negara Palestina bukan pula berarti melawan Israel. "Pengakuan Palestina oleh seluruh (anggota) Uni Eropa akan menjadi sinyal bahwa Palestina membutuhkan tanah air, sebuah negara, sama seperti Israel," kata Asselborn.

Dia menilai kegagalan untuk mematuhi hukuman internasional akan menghasilkan setidaknya 5 juta pengungsi tambahan di Timur Tengah. Pengungsi itu tak lain adalah warga Palestina. "Itu tidak mungkin menjadi kepentingan Israel," ucapnya.

Anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Hanan Ashrawi, menyambut seruan Asselborn. "Luksemburg juga mencerminkan kesiapannya untuk menghadapi implikasi kebijakan Amerika Serikat (AS) yang gegabah dengan langkah-langkah positif yang memajukan prospek perdamaian serta keadilan. Kami meminta semua anggota Uni Eropa mengindahkan seruan Luksemburg," kata Ashrawi.

Sejak AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, Palestina mundur dari perundingan damai yang dimediasi AS. Palestina menilai Washington tak lagi menjadi mediator netral karena terbukti membela kepentingan politik Israel. Hingga kini tak ada tanda-tanda perundingan atau negosiasi akan berlanjut.

Menurut laman Daily Sabah, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi pada 2014 yang secara prinsip isinya mendukung status Negara Palestina. Mosi ini diloloskan setelah melalui kompromi dengan anggota parlemen berhaluan kiri. Kubu kiri tersebut ingin 28 anggota Uni Eropa saat itu langsung mengakui Palestina tanpa syarat.

Saat ini lebih dari 135 negara dunia mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Di antara mereka terdapat negara Eropa timur yang mengakui Palestina sebelum mereka bergabung dengan Uni Eropa.

photo
Suasana Kota Yerusalem.

Cemaskan Palestina

Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan Ursula Mueller mengaku mencemaskan kondisi hidup masyarakat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hal itu dia sampaikan setelah melakukan kunjungan selama enam hari ke Israel dan wilayah Palestina.

"Kunjungan saya membuat saya khawatir. Tantangan di sini sangat besar, tetapi langkah-langkah positif baru-baru ini, bersama dengan orang-orang luar biasa yang saya temui, memberi saya harapan bahwa ada peluang untuk perbaikan," kata Mueller, dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA, Senin.

Selama kunjungannya, Mueller bertemu beberapa pejabat Palestina, seperti Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh dan Direktur Jenderal Pertahanan Sipil Palestina Mayor Jenderal Yousef Nassar. Dia pun menemui masyarakat Palestina yang paling rentan di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Mueller juga berkunjung ke Gaza. Dia menyempatkan diri menengok kondisi rumah sakit di sana dan mencermati dampak blokade yang berlangsung sejak 2007. n kamran dikarma, ed: yeyen rostiyani

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement