REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut sedang berupaya menghilangkan stigma mahalnya biaya untuk berwisata di Garut. Salah satu cara yang disiapkan adalah membuat Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK) untuk melakukan klarifikasi terkait isu negatif di sektor pariwisata di masyarakat.
"Kita aktifkan MKK pada 2020 secara masif. Kalau ada isu negatif, kita akan langsung terangkan yang sebenarnya. Agar wisatawan tahu informasi yang benar," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Garut, Budi Gan Gan saat dihubungi Republika, Rabu (22/1).
Ia menjelaskan, stigma wisata mahal di Garut itu muncul sejak Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan diambil pengelolaannya oleh swasta. Tiket masuk yang sebelumnya hanya sekira Rp 5.000 tiba-tiba naik menjadi sekira Rp 20 ribu per orang.
Wisatawan yang datang ke Gunung Papandayan lantas kecewa lantaran harganya dianggap terlalu mahal. Akibatnya, label mahal itu memengaruhi destinasi wisata lain yang ada di Garut. Seolah-olah, seluruh destinasi di Garut menjadi mahal.
"Kekecewaan itu secara tidak sadar merusak citra wisata Garut," ujar dia.
Padahal, Budi menyebutkan, harga tiket masuk maupun kendaraan umum untuk menuju destinasi wisata di Garut cenderung murah. Apalagi, jika dibandingkan dengan daerah tujuan wisata lainnya.
Ia mencontohkan, jika ada orang Bali yang piknik ke Garut, pasti akan terkejut dengan harganya yang murah. Tarif wisata Pesona Garut (Sonagar) hanya Rp 5.000 untuk anak dan Rp 10 ribu untuk dewasa.
"Kalau di Bali tarif bus seperti pasti lebih mahal, bahkan mencapai ratusan ribu rupiah kalau dikelola swasta," kata dia.
Pemkab Garut menargetkan, kunjungan wisatawan pada 2020 akan meningkat, dari sebelumnya 2,8 juta menjadi 3,1 juta orang. Budi optimistis target itu akan tercapai. Apalagi pada 2020 akan beroperasi kembali jalur kereta yang telah lama mati antara Cibatu dan Garut, sehingga wisatawan yang ingin datang ke Garut akan memiliki pilihan trasportasi lain.
"Kita optimis target 3,1 juta tercapai," katanya.