Kamis 23 Jan 2020 00:10 WIB

Penyiksaan dalam Interogasi tidak Dibenarkan

Praktik penyiksaan di interogasi bisa berakibat di kesalahan pengambilan keputusan.

Terdakwa pengunjukrasa pada aksi pelajar, Dede Lutfi Alfiandi mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019). Lutfi diduga mengalami penyiksaan saat diinterogasi.
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Terdakwa pengunjukrasa pada aksi pelajar, Dede Lutfi Alfiandi mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2019). Lutfi diduga mengalami penyiksaan saat diinterogasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai seharusnya praktik usang penggunaan penyiksaan dalam interogasi kepada tersangka sudah lama ditinggalkan oleh penyidik kepolisian. Selain banyak aturan di Indonesia yang melarangnya, juga praktik semacam itu justru akan merenggut keadilan seseorang.

Metode pemeriksaan dengan penyiksaan oleh penyidik akan berakibat pada pengambilan keputusan oleh hakim berdasarkan keterangan yang salah, kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Manager Nasution, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/1).

Baca Juga

Pernyataan ini disampaikan Nasution untuk merespons dugaan penyiksaan yang dialami Lutfi Alfiandi. Ia adalah pelajar yang menjadi terdakwa kasus kerusuhan dalam demonstrasi pelajar SMK di gedung DPR beberapa bulan yang lalu.

Dalam proses persidangan, Lutfi mengaku disetrum dan dipukul selama proses pemeriksaan. Menurut Nasution, terlepas dari kasus Lutfi, tindakan penyiksaan dalam proses interogasi tidak pernah dibenarkan dalam situasi apapun.

"Penyiksaan adalah pelanggaran hukum dan merupakan bentuk 'abuse of power'. Apalagi ini dilakukan kepada seorang anak, mestinya ada pendekatan dengan perspektif perlindungan anak," katanya.

Nasution menjelaskan bahwa aturan melakukan penyelidikan, penyidikan, penangkapan, hingga penahanan ada dalam Pasal 52 KUHAP, yang menyatakan: "Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim".

Selain itu di Pasal 117 KUHAP menyatakan bahwa: "Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun".

Nasution berpandangan jika benar Lutfi mengalami penyiksaan, maka secara Berita Acara Penyidikan (BAP) menjadi tidak sah secara hukum dan dapat dijadikan dasar pembatalan dakwaan di pengadilan. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia, yang berbunyi: "Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan dan penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti".

Untuk itu, Nasution meminta Kepolisian untuk pro aktif melakukan penyelidikan atas dugaan penyiksaan kepada Lutfi. Tujuannya agar isu yang berkembang tidak semakin liar.

Jika ada dugaan polisi yang menangkap dan memeriksa melakukan penyiksaan, Nasution menyarankan juga kepada korban untuk segera melapor kepada Propam Polri. Propam harus langsung memproses perkara tersebut untuk mencari tahu benar tidaknya kabar penyiksaan.

"Kalau benar terbukti ada oknum penyidik melakukan penyiksaan, saya berharap pelaku dapat dikenakan sanksi tegas. Bila perlu dipecat, agar menjadi peringatan bagi penyidik lainnya," kata Nasution.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement