REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu bukti mukjizat Alquran adalah kepribadian Nabi Muhammad SAW. Betapa tidak? Manusia paling sempurna yang Allah ciptakan itu merupakan figur yang tak pernah sebanding dengan manusia manapun yang pernah ada.
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Mukjizat Alquran menjabarkan, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan guna mempermudah bukti-bukti kemukjizatan Alquran. Yakni melalui kepribadian Rasulullah SAW, memahami kondisi masyarakat pada saat turunnya Alquran, dan cara Alquran diturunkan.
Membuktikan kebenaran seorang nabi tidak harus melalui mukjizat yang dipaparkannya, tapi juga dapat dibuktikan dengan mengenal kepribadian, keseharian, akhlak, hingga air mukanya. Imam Al-Ghazali dalam konteks ini menekankan bahwa apabila seseorang merasa ragu seseorang itu nabi atau bukan, tidak mungkin keraguan itu berubah menjadi keyakinan, kecuali seseorang tersebut telah mengetahui keadaannya.
Baik dengan cara melihat langsung atau mendengar beritanya melalui sejumlah orang yang menurut adat, mereka mustahil melakukan kebohongan. Nabi Muhammad dikenal baik dari sikap, tutur, hingga penyampaian orang yang mengenalnya sebagai pribadi yang sangat baik.
Apakah Rasulullah merupakan sosok yang gila kedudukan? Menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan? Atau apakah Rasulullah mengaku tahu segala hal?
Sangat populer bagaimana tawaran tokoh-tokoh kaum musyrikin Makkah kepada Rasul. Rasulullah diiming-imingi harta, kedudukan, wanita dengan syarat bersedia menghentikan dakwahnya. Namun semua itu ditolak beliau.
Bahkan ketika menjawab tantangan itu, dalam hadis shahih Rasulullah SAW bersabda yang artinya: "Walau matahari diletakkan di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, tidak akan kutinggalkan miskinku sampai berhasil aku gugur mempertahankannya,".
Kepribadian Rasul dikatakan mukjizat karena sejatinya sifat kenabian itu menyatu dalam sebuah raga manusia. Manusia yang nampak seperti manusia pada umumnya. Sikap seperti manusia biasa ini pun pernah terekam dalam hadis shahih.
Kala itu, Rasulullah mendengar seorang wanita dari penduduk Madinah bernama Ummu Ala berbicara. Dia berbicara di saat kematian sahabat Rasulullah bernama Utsman bin Mazh'un. Ummu Ala berkata: "Berbahagialah engkau, wahai Abu As-Saib (gelar Utsman bin Mazh'un). Kesaksianku atasmu adalah bahwa Allah telah menganugerahimu surga,".
Mendengar hal ini, Rasulullah pun berkomentar: "Dari mana kah Anda tahu bahwa Allah memberinya anugerah (surga)?". Lalu Ummu Ala pun menjawab: "Demi Tuhan, wahai Rasulullah, siapa lagi yang dianugerahkan Allah kalau bukan yang semacamnya?"
Mendengar hal itu, Rasul pun menjawab: "Memang telah datang kepadanya kematian, dan aku akan mengharap kebaikan untuknya. Tetapi demi Allah, aku sendiri pun tidak tahu meski aku adalah pesuruh Allah bagaimana aku diperlakukan kelak,". Hadis ini merupakan hadis shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan An-Nasa'i.
Senada dengan hadis tersebut, Alquran juga menegaskan hal yang serupa. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ahqaf ayat 9 berbunyi: "Qul ma kuntu bid'an mina-rusuli wa ma adri ma yuf'alu-biy wa la bikum, in attabi'u illa ma yuha ilayya wa ma ana illa nadzirun mubin,". Yang artinya: "Katakanlah (wahai Muhammad), bahwa aku (Muhammad) bukanlah orang pertama dari rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan dilakukan terhadapku. Aku tidak lain kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, dan aku tidak lain kecuali seorang pemberi peringatan yang jelas,".
Untuk itulah, siapapun yang mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad SAW dan mengetahui keseharian serta kesederhanannya, pastilah dia tak akan menafikan segala macam tuduhan negatif yang ditujukan kepadanya. Meski secara fisik dan naluri, Rasulullah sama dengan manusia biasa, tetapi dalam kepribadian dan mentalnya, beliau bukanlah manusia biasa.