REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris mengatakan akan melakukan evaluasi terkait adanya dugaan upaya merintangi penyidikan (obstruction of justice) kasus dugaan suap proses PAW yang menjerat mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDIP Harun Masiku. Sampai saat ini, Harun Masiku masih buron.
"Iya akan evaluasi," kata Haris di Gedung Sequis Centre di Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (23/1).
Haris menuturkan akan mengkaji laporan masyarakat tentang adanya pelanggaran kode etik dan adanya berbagai penyimpangan SOP yang diduga dilakukan pimpinan KPK. "Kami menerima pengaduan, menerima pengaduan baik yang sifatnya etik mau pun non-etik terkait dengan penyimpangan itu," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke KPK. Dalam laporannya, Yasonna diduga merintangi penyidikan dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR yang menjerat politikus PDIP Harun Masiku.
"Hari ini kami bersama Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan saudara Yasona Laoly selaku Menkumham atas dugaan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana usai memberikan laporannya di depan lobi Gedung KPK, Jakarta, Kamis (23/1).
Menurut Kurnia Yasonna bisa dijerat pasal 21 Undang-undang Tipikor dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara lantaran olitisi PDIP itu memberikan keterangan tidak benar lantaran menyebut Harun Masiku masih di luar negeri padahal sesungguhnya sudah berada di Indonesia pada Selasa (7/1). Hal itu berdasarkan CCTV di Bandara Soekarno-Hatta.
"Pada Selasa (7/1) sebenarnya Harun Masiku sudah kembali ke Indonesia tapi tidak ditindaklanjuti oleh Kemenkumham dan baru kemarin mereka menyebutkan berbagai alasan ada sistem yang keliru dan lain-lain," katanya.
Karena ini, ia menambahkan, sudah masuk ke penyidikan pertanggal Kamis (9/1) kemarin harusnya tidak menjadikan hambatan lagi bagi KPK untuk segera menindak Yasona dengan pasal 21 tersebut.
Kurnia mengungkapkan, dalam laporannya pihaknya membawa CCTV yang juga sudah beredar di masyarakat ihwal kedatangan Harun Masiku di Bandara Soekarno Hatta. Menurut Kurnia, alasan Kemenkumham sangatlah tidak masuk akal.
"Sebenarnya kan persoalannya sederhana mereka tinggal cek CCTV di bandara saja apakah benar temuan atau petunjuk yang ada, tapi tidak juga tidak ditindaklanjuti dengan baik," tutur Kurnia.
Terlebih, rentang dua pekan atau alasan "delay time" yang dikemukakan Dirjen Imigrasi, Ronny F Sompie. Menurut Kurnia alasan tersebut tidak cukup membenarkan.
Sementara KPK, menilai hingga saat ini belum ada dugaan upaya merintangi penyidikan kasus tersebut. Bila ditelisik, informasi mengenai keberadaan Harun terasa janggal berdasarkan dari alur pernyataan pihak terkait. Pihak Imigrasi sebelumnya menegaskan, bahwa sebelum tangkap tangan pada Rabu (8/1), Harun sudah pergi ke Singapura pada Senin (6/1) bahkan Harun disebut masih berada di luar negeri hingga Senin (13/1).
Padahal yang bersangkutan hanya sehari berada di Singapura. Namun, pemberitaan media nasional santer menyebut Harun sudah kembali ke Indonesia pada Selasa (7/1) berdasarkan rekaman CCTV di Bandara Soekarno-Hatta yang menunjukkan keberadaan Harun.
Selama rentang itu, KPK mengklaim memercayai pernyataan jajaran Ditjen Imigrasi dan Kemenkumham yang menyebut Harun masih berada di Singapura lebih dari sepekan. Namun, pada Rabu (21/1) kemarin, Ditjen Imigrasi mengakui Harun telah kembali ke Indonesia pada Selasa (21/1) Dirjen Imigrasi, Ronny F Sompie menyatakan akan mendalami adanya delay time dalam proses data perlintasan di Terminal 2 F Bandara Soekarno-Hatta, ketika Harun Masiku melintas masuk.
Plt Jubir KPK Ali Fikri menegaskan, lembaga antirasuah saat ini akan menunggu proses pendalaman yang dilakukan Imigrasi terkait delay time informasi kembalinya Harun ke Indonesia. "Dari Dirjen Imigrasi akan melakukan pendalaman. Tentunya itu adalah informasi positif, informasi yang bagus. Apa nanti kemudian di sana ada unsur kesengajaan, atau lalai ataupun yang lainnya, tentu perlu pendalaman dulu ke sana," ujarnya.
Meskipun ada kesalahan informasi, KPK tidak merasa dibohongi oleh Imigrasi lantaran hubungan baik antara KPK dan Ditjen Imigrasi. Apalagi kata Ali, informasi dari Imigrasi bukan satu-satunya informasi yang diterima KPK mengenai keberadaan Harun Masiku.
"Kami tidak memandangnya sampai ke sana (dibohongi Imigrasi). Yang jelas karena ini ada hubungan yang baik dengan Imigrasi maka informasinya tentu kami terima. Informasinya kami terima sebagai salah satu informasi. Itu yang terpenting," katanya.
Diketahui, KPK beberapa kali menerapkan Pasal 21 terhadap pihak-pihak yang merintangi penyidikan maupun penuntutan. Namun, Ali mengatakan perlu kajian lebih mendalam untuk menerapkan pasal tersebut terkait Harun Masiku. "Bagaimanapun jika penerapan pasal-pasal, kita taat aturan hukum bahwa harus ada bukti permulaan yang cukup ketika akan menetapkan tersangkanya," ujarnya.