REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Dede Lutfi Alfiandi, Sutra Dewi, mengatakan, pihaknya belum memutuskan apakah akan melaporkan atau tidak dugaan penyiksaan terhadap kliennya ke Propam Polri. Sebab, pihaknya saat ini masih fokus ke persidangan.
"Kita belum ambil sikap (soal dugaan penyiksaan). Kita masih fokus ke persidangan dulu. Lutfi kan masih di dalam (tahanan), kita juga belum bisa koordinasi," kata Sutra kepada Republika, Kamis (23/1).
Sutra mengaku juga belum terlalu memikirkan usulan sejumlah pihak agar Lutfi mengajukan gugatan ganti rugi atas penyiksaan yang diterima. "Itu kalau sudah keluar baru bisa. Bagaimana mau segala macam, Lufti masih dalam proses," kata Sutra.
Gugatan ganti rugi itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92/2015 tentang Pelaksanaan KUHAP. Salah satu contoh tuntutan ganti rugi yang berhasil adalah kasus penganiayaan hingga tewas terhadap terduga pencuri, Faisal dan Budri oleh oknum polisi Polsek Sijunjung. Polda Sumatera Barat pun terpaksa membayar ganti rugi senilai Rp 500 juta kepada keluarga korban.
Dede Lutfi Alfiandi (20 tahun) adalah pemuda yang membawa Bendera Merah Putih saat melakukan aksi bersama siswa STM dan SMK di depan kompleks DPR RI pada September tahun lalu. Ia ditangkap polisi atas tuduhan penyerangan terhadap aparat.
Dalam proses persidangannya, Senin (20/1), Lufti mengaku kepada hakim bahwa dirinya disiksa hingga disetrum selama setengah jam oleh penyidik saat memberikan keterangan di Polres Jakarta Barat. Penyiksaan itu, kata Lutfi, ditujukan agar dirinya mengaku sebagai pelempar batu kepada aparat saat berdemonstrasi.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Teuku Arsya membantah anggotanya menganiaya Lutfi. "Enggak mungkin, kita kan polisi modern, dia mengaku karena setelah itu ditunjukkan ada rekaman video dia di lokasi. Dia lempar batu, itulah petunjuk kenapa dia diamankan," ujar Arsya saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Mabes Polri juga menegaskan bahwa aparat dalam melakukan tugas terkait kasus ini sudah sesuai aturan yang ada. "Ya kami sudah melakukan tugas sesuai dengan aturan," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Argo Yuwono di Kementerian Pertahanan, Jakarta Pusat, Kamis (23/1).
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Manager Nasution menyarankan Lutfi agar melaporkan dugaan penyiksaan itu ke Propam Polri. Sebab tindakan itu melanggar UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia.
“Kalau benar terbukti ada oknum penyidik melakukan penyiksaan, saya berharap pelaku dapat dikenakan sanksi tegas, bila perlu dipecat, agar menjadi peringatan bagi penyidik lainnya” kata Nasution, kemarin.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, juga menyarankan Lutfi mengadukan dugaan penganiayaan itu ke Propam Polri. Namun ia berharap oknumnya tidak hanya dipecat, tapi juga diseret ke ranah pidana. Sehingga muncul efek jera agar kejadian penyiksaan tidak terjadi lagi.
"Tapi ini butuh tekanan yang besar karena biasanya jarang diproses," kata Isnur, kemarin.
Isnur juga berharap agar Lutfi bisa menyampaikan dugaan penyiksaan ini secara gamblang ke hakim, sehingga bisa mendalilkan bahwa dirinya tak bersalah. Dia juga berharap agar Lutfi mengajukan gugatan ganti rugi atas dugaan penyiksaan dengan disetrum itu.