REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rabi' mengabari kami, Imam Syafi'i berkata, "Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, 'Haid itu adalah kotoran'. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kalian mendekati mereka sampai mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri," (QS AlBaqarah [2]: 222)."
Dalam kitab Al-Umm, Kitab Induk Fiqih Islam 1, Imam Syafi'i berkata, "Allah menjelaskan wanita yang haid tidaklah suci. Dia memerintahkan seorang wanita yang sedang haid jangan 'didekati' sampai ia suci, sampai ia bersuci menggunakan air sehingga wanita itu kembali termasuk orang-orang yang halal melaksanakan shalat.
Tidaklah dihalalkan bagi seorang laki-laki menyetubuhi istrinya yang sedang haid sampai istrinya suci. Sesungguhnya Allah ta'ala menjadikan tayamum sebagai thaharah jika air tidak ada, atau orang yang bersangkutan sedang sakit. Oleh sebab itu, dihalalkan bagi wanita haid yang sudah selesai haidnya bersuci menggunakan air jika dia mendapatkan air. Dia boleh bertayamum kalau tidak mendapatkan air."
Imam Syafi'i berkata, "Ketika Allah ta'ala memerintahkan agar wanita haid 'dijauhi' lalu menjadikan mereka boleh kembali didekati setelah suci dari haid (selesai haid) dan berthaharah, sementara sunnah menunjukkan wanita yang mengalami istihadhah tetap harus melaksanakan shalat, maka itu menunjukkan suami yang istrinya istihadhah boleh 'mendatangi' istrinya itu -insya Allah."