REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Politik dan agama merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan berkontribusi besar terhadap lika-liku peradaban zaman, terlebih umat Muslim. Politik sejatinya merupakan alat untuk meraih kebaikan bagi sebesar-besarnya umat.
Pimpinan Pondok Pesantren Daarul Rahman KH Syukron Ma’mun mengatakan, tak pernah ada sejarahnya bahwa politik itu berdiri sendiri dan memisahkan diri dari agama. Dalam agama Islam misalnya, beliau menyebut, politik merupakan alat yang baik dan dijalankan dengan suci.
Ajaran-ajaran agama Islam mengenai politik tak lantas diasosiasikan dengan oknum politisi Muslim yang berkelakuan buruk. Menurut beliau, oknum politik yang berlaku buruk bukanlah cerminan dari ajaran Islam. Dalam Islam, politik diatur sedemikian rupa dan sangat mempertimbangkan aspek kemaslahatan.
“Politik Islam itu adalah politik yang diajarkan Alquran, suci. Maka kalau ada politikus Muslim yang korupsi, itu bukan Islamnya yang ajarkan (korupsi), tapi itu kelakuan si pelaku yang memang bejat,” kata KH Syukron Ma’mun dalam Acara Maulid Nabi Muhammad SAW, di Masjid Tanzilul Huda, Jakarta, akhir pekan lalu.
Momentum hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW sejatinya harus dijadikan sebagai muhasabah. Mengevaluasi diri dari segala keburukan diri yang sempat dikerjakan. Kaitannya dengan lingkup kondisi saat ini di mana koruptor semakin merajalela, beliau mengajak kepada seluruh umat Muslim untuk tidak antipati terhadap politik namun harus melawan budaya korupsi.
Menjadikan figur Rasulullah SAW sebagai panutan dalam berpolitik, kata beliau, adalah salah satu solusi dari muhasabah diri yang paling baik. Beliau berpendapat, politik merupakan sunah Rasulullah. Di mana politik tersebut dijalankan dengan catatan-catatan penting.
Antara lain harus berpolitik santun, tidak saling menjatuhkan, memikirkan kepentingan rakyat, dan menghindari kebatilan dari setiap kebijakan yang dihasilkan dari aktivitas politik yang dilakukan. Yang terjadi justru, kata beliau, politik saat ini jauh dari atmosfer politik Alquran nan-suci.
“Politik adalah sunah Rasul, (politik) yang santun. Sekarang, politik justru jadi ajang fitnah dan saling menjatuhkan. Ini politik setan, nafsu, dan rendah,” ungkapnya.
Beliau menyesalkan fenomena apatis yang muncul di kalangan sebagian umat Muslim terhadap politik. Kalangan ini ragu terhadap jalan politik yang kadung menganggapnya sebagai suatu medium yang tercela. Padahal, kata beliau, politik sejatinya bersifat suci dan mengandung hal-hal baik yang bersinggungan langsung dengan hajat kehidupan orang Muslim.
Fenomena apatis terhadap politik ini lantas membuatnya mengajak para jamaah yang hadir untuk mengingat-ingat sejarah. Di mana pada era kolonial, umat Muslim dibungkam dan dijauhkan dari politik. Misalnya, para ulama dilarang untuk berbicara tentang politik di masjid, atau yang paling ekstrem hingga pelarangan buku-buku mengenai politik Islam.
“Dulu, Belanda larang umat Muslim berpolitik. Kita ini dikadalin sama Belanda, dibilang sama mereka bahwa politik itu jahat, sedangkan kiai dan ustaz itu suci, jadi jangan berpolitik. Ini keliru,” ujarnya.
Untuk itu pada masa ini, beliau mengingatkan kembali kepada umat Muslim untuk tidak antipati terhadap politik. Islam merupakan agama yang damai, yang mana kedamaian itu harus dinikmati oleh setiap individu yang tinggal di dalam naungan besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu langkah untuk memperjuangkan kedamaian, keadilan, dan kemakmuran tersebut adalah melalui jalur politik. Hanya saja beliau berpesan, umat Muslim harus menggunakan hati, pikiran, dan juga iman apabila hendak terjun ke dalam dunia politik.
Berpolitik ala Rasulullah
Karut-marutnya kondisi perpolitikan Indonesia saat ini tak lepas dari moral bejat para oknum politisinya. Namun demikan, beliau menyebut Indonesia masih memiliki masa depan yang cerah asalkan umat Muslim mau berbenah diri dan saling mendukung satu sama lain.
Salah satu hal yang perlu dilakukan kepada mereka yang hendak terjun ke dunia politik adalah meniru teladan Rasul dalam berpolitik. Rasulullah dikenal sebagai pemimpin yang adil, memakmurkan rakyatnya, dan juga menjauhi hal-hal tercela yang dapat mencelakakan negara.
“Dalam Alquran itu bahkan disebut, baldatun tayyibatun wa Rabbun-ghafur. Bahwa sebuah negara itu harus baik, makmur, sejahtera, dan diridhai Allah SWT,” pungkasnya.
Untuk itu beliau menegaskan kepada seluruh pemimpin bangsa, baik itu yang berada di daerah maupun pusat, legislatif, hingga yudikatif, untuk terus menjaga nilai-nilai kebaikan dalam menjalankan fungsinya. Kembali kepada pola politik yang diajarkan Rasulullah dan Alquran merupakan satu-satunya jalan yang niscaya dapat membawa Indonesia kepada masa depan yang cerah.