REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menutup sembilan Bank Pekreditan Rakyat (BPR) sepanjang 2019. Hal ini turut memengaruhi jumlah BPR yang masih beroperasi hingga akhir 2019 menjadi sebanyak 1.704 bank, turun dari 1.754 bank pada akhir 2018.
Plt Kepala Eksekutif LPS Didik Madiyono mengatakan sejak 2005 hingga akhir 2019 penutupan sembilan BPR membuat jumlah bank yang sudah dilikuidasi sebanyak 101 bank. Jumlah ini terdiri dari 100 BPR dan satu bank umum.
"Jumlah BPR berkurang di samping ada akuisisi dan merger, juga karena ada 9 BPR yang dicabut izin usahanya pada 2019," ujarnya kepada wartawan akhir pekan kemarin.
Menurutnya total simpanan dari 101 bank yang tutup sebesar Rp 1,92 triliun dengan total 259.178 rekening. Nilai ini terdiri dari dana simpanan bank umum Rp 357 miliar dan BPR Rp 1,56 triliun.
Dari klaim simpanan tersebut yang merupakan layak bayar sebesar Rp 1,55 triliun atau hanya 81,1 persen dari total simpanan. Angka itu juga setara 242.015 rekening atau 93,3 persen dari total rekening.
"Itu terdiri dari bank umum Rp 186 miliar dan BPR senilai Rp 1,37 triliun," katanya.
Sedangkan simpanan yang tidak layak bayar senilai Rp 363 miliar atau setara 18,9 persen dari total simpanan. Angka ini mencakup 17.163 rekening atau setara 6,7 persen dari total rekening. Simpanan yang tak layak bayar itu terdiri dari bank umum sebesar Rp 171 miliar dan BPR sebesar Rp 192 miliar.
Menurut Didik, ada tiga faktor yang menyebabkan simpanan menjadi tidak layak bayar. Pertama, karena bunga yang diterima nasabah melebihi dari ketentuan suku bunga penjaminan yang ditetapkan LPS. Persoalan ini terjadi pada 72,45 persen dari total simpanan yang tak layak bayar.
Kedua, adanya rekayasa simpanan, rekening seolah-olah ada aliran dana yang masuk. Kasus ini mencakup 12,17 persen pada total simpanan yang tak layak bayar.
"Terakhir karena menyebab bank tidak sehat atau karena kredit macet. Ini jumlahnya 15,38 persen dari total simpanan yang tak layak bayar," ucapnya.