REPUBLIKA.CO.ID, Gibah merupakan perkara yang diharamkan dalam Islam. Gibah adalah menggunjing orang lain dan membuka keburukan orang lain. Larangan gibah dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya di surah al-Hujurat: 12:
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.”
Gibah sendiri dapat merusak kehormatan, kemuliaan, dan harga diri orang lain. Namun, hal itu dilakukan di belakang orang-orang yang dibicarakannya. Ini sekaligus menjadi bukti kelicikan seseorang seakan-akan telah menikam orang lain dari belakang.
Banyak pendapat yang telah mengharamkan perbuatan gibah. Namun demikian, ada beberapa hal yang oleh para ulama dikecualikan. Artinya, ada pula hal yang tidak termasuk gibah yang diharamkan, namun hal ini hanya berlaku dalam keadaan darurat.
Dalam buku Tuntas Memahami Halal dan Haram milik Syekh Yusuf al-Qaradhawi, menjelaskan di antara pengecualian tersebut adalah seseorang yang dianiaya melaporkan orang yang menganiayanya tersebut.
Pada kondisi tersebut, Islam memberikan keringanan untuk mengadukan penganiayaan yang dilakukan. Allah SWT telah berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (QS an-Nisa: 148)
Di antara gibah yang dikecualikan adalah meminta pandangan dan pertolongan untuk kepentingan mengubah kemungkaran. Namun, hal ini harus dilakukan dengan menyembunyikan nama, gelar, sifat yang tidak disenanginya.
Termasuk gibah lain yang diperkenankan ialah dengan menceritakan perawi hadis dan berita lainnya. Gibah ini biasanya ditemukan dalam ilmu al-jarh wa al-ta ‘dil. Tanpa ada ilmu ini, tentu siapapun boleh mengatakan apa saja.
Adapun yang menjadi ketentuan umum dari pengecualian gibah ialah dua hal: karena ada alasan kepentingan dan karena ada niat baik.
Perihal alasan pertama, jika tidak ada alasan memaksa kita untuk membicarakan orang lain yang tidak ada di dalam wilayah tersebut, maka hendaknya kita tidak memasuki wilayah itu. Artinya, bila masih bisa ditempuh dengan cara sindiran, maka hendaknya kita menyampaikannya dengan terang terangan kepada yang bersangkutan.
Misal, ada seseorang yang bertanya “Bagaimana pendapatmu bila ada orang yang begini dan begitu?” Maka seseorang masih memungkinkan untuk menjawabnya daripada harus menjawab pertanyaan, “Bagaimana menurutmu perihal sifat si anu dan si anu?”
Sementara niat di balik itu semua mestinya harus menjadi pemisah yang jelas. Hanya niatlah yang bisa memisahkan kezaliman dengan selain kezaliman. Niat pula yang membedakan gibah dengan kritik dan antara memberi nasihat dan menyebarkan aib orang lain.
Islam menetapkan bahwa orang yang mendengar gibah pun sama halnya dengan orang yang melakukannya. Maka dari itu, dia berkewajiban membela dan menjauhkan saudaranya dari gibah tersebut. “Siapa saja yang menjauhkan saudaranya dari gibah, maka hak bagi Allah untuk membebaskan orang tersebut dari siksa api neraka.” (HR Ahmad)