REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah Palestina menolak rencana perdamaian Timur Tengah yang disusun pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Rencana itu dijadwalkan dirilis pada Selasa (28/1).
"Kami menolaknya dan kami menuntut komunitas internasional untuk tidak menjadi mitra karena hal itu bertentangan dengan dasar-dasar hukum internasional serta hak-hak warga Palestina yang tak dapat dicabut," kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh saat pertemuan kabinet di Ramallah, Tepi Barat, Senin (27/1).
Shtayyeh meyakini rencana tersebut akan melemahkan posisi Palestina dan membela kepentingan politik Israel. "Ini hanyalah rencana untuk menghabisi perjuangan Palestina," ujarnya.
Shtayyeh pun mencurigai rencana perdamaian tersebut merupakan alat pengalih agar Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dapat lepas dari kasus hukum yang sedang dihadapinya. "Rencana ini adalah untuk melindungi Trump dari pemakzulan dan untuk melindungi Netanyahu agar tidak masuk penjara, dan itu bukan rencana perdamaian," ucapnya.
Trump dan Netanyahu memang sedang menghadi proses hukum di negaranya masing-masing. Senat AS tengah melangsungkan sidang pemakzulan terhadap Trump. Dia dituding melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara Netanyahu sedang diselidiki atas kasus suap.
Trump dan Netanyahu dijadwalkan bertemu di Washington pada Senin. Mereka akan membicarakan rencana perdamaian Timur Tengah yang rencananya dirilis pada Selasa. Netanyahu yakin rencana itu akan berpihak pada kepentingan Israel.
"Saya akan ke Washington untuk menghadap Presiden Amerika yang mengajukan rencana yang saya yakin akan memajukan kepentingan kita yang paling vital," kata Netanyahu sebelum bertolak ke Washington pada Ahad (26/1), dikutip laman Jerusalem Post.
Dalam rencana perdamaian itu akan tercakup pula solusi untuk konflik Israel-Palestina. Namun, penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner telah menyatakan tak ada frasa "solusi dua negara" dalam naskah rencana tersebut.