REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Para nabi diutus Allah SWT ke bumi dengan bekal keterampilan dan ilmu pengetahuan di atas manusia biasa. Dengan itu, mereka mampu memenuhi kehidupan di dunia. Cara itu pula yang menjadikan mereka mandiri dan lepas dari intervensi kaumnya.
Ini dibuktikan dengan banyaknya ayat Alquran yang menyatakan jika para Nabi tak membutuhkan harta benda masyarakat di mana dia tinggal dalam kepentingan dakwahnya. Kita bisa saksikan bagaimana pernyataan Nabi Nuh kepada kaumnya. "Dan wahai kaumku! Aku tidak meminta harta kepada kaum (sebagai imbalan) atas seruanku. Imbalanku hanyalah dari Allah." (QS Hud: 29).
Banyak nabi yang memiliki mata pencaharian. Layaknya manusia normal, mereka pun bekerja keras. Ini membuktikan jika para nabi berdakwah tidak dalam rangka berupaya untuk mendapat upah dan harta dari kaumnya. Masyarakat tak akan menghormati orang yang hidupnya tergantung pada upah dan perjamuan mereka.
Ketika masih tinggal di surga, Nabi Adam AS dibekali keterampilan dan ilmu pengetahuan. Allah SWT pun membekalinya dengan buah-buahan. Sebuah hadis menceritakan tentang kehidupan Adam. "Sesungguhnya ketika Allah mengeluarkan Adam dari surga, membekalinya dengan buah-buahan surga dan mengajarinya ketrampilan membuat segala sesuatu. Dengan demikian, buah-buahan kalian ini merupakan buah-buahan surga. Hanya saja, yang ini berubah rasanya sedangkan yang itu tidak berubah." (HR al-Hakim dalam al-Musta drak, 2/592).
Kita pun mengenang cerita Nabi Nuh AS yang membangun kapal dengan jerih upayanya. Di riwayatkan dari Sayyidah Ai syah, Rasulullah SAW, Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya selama 1.000 tahun kurang 50 tahun. Selama itu, dia menyerukan mereka kepada Allah. Hingga akhir masanya, ia menanam sebuah pohon lalu membesar hingga ia pun menebangnya dan mulai membuat kapal. Mereka mengolok-oloknya seraya berkata: "Ia membuat kapal di darat, lalu bagaimana berjalannya?" Nabi-nabi lainnya pun nyata-nyata disebutkan dalam Alquran dan hadis sebagai orang yang memiliki skil dan pengetahuan untuk mencari nafkah.
Kita tahu jika Nabi Zakaria adalah seorang tukang kayu dan Nabi Daud merupakan pandai besi. Kita juga mengenal Nabi Idris sebagai ahli dalam membuat pakaian sementara Nabi Yusuf menjadi pakar ekonomi dan pemerintahan. Begitu juga Nabi Syuaib, seorang saudagar mulia yang diperintahkan Allah untuk menyeru kepada kaumnya agar adil dalam takaran dan timbangan ketika berniaga.
Kemuliaan para nabi ini membuat sebagian ulama berpendapat jika mustahil Nabi itu fakir. Pendapat ini didukung Ibnu Baththal dalam Syarh al-Bukharinya. "Rasulullah tidak makan dari harta zakat karena orang yang makan dari harta zakat itu buruk. Menerima zakat merupakan kedudukan yang hina. Sedangkan para nabi terbebas dari kondisi hina dan rendah semacam itu."
Sedangkan kita juga tahu bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang kaya. Allah SWT menyatakan kepada Nabi Muhammad SAW jika Dia menemukannya dalam keadaan menderita lalu Allah mencukupkan kebutuhannya. Karena itu, beliau tidak berhak mendapatkan zakat.
Dalam ayat lainnya, Allah SWT berfirman, "Katakanlah (Mu hammad): 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan'." (QS asy-Syura: 23). Itulah bukti nyata jika Rasulullah tidak menerima zakat. Jika Nabi SAW menerimanya dan me mungutnya dari mereka, itu akan membuka celah bagi orang-orang untuk mengatakan, dakwah Nabi hanya untuk harta.
Nabi SAW hanya diperintah kan untuk memungut zakat un tuk didistribusikan kepada kaum fakir dan miskin. Ini dilakukan agar mereka menyadari jika dakwah Nabi demi kepentingan me reka sendiri tanpa kompensasi apa pun dari mereka. "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." (HR Bukhari). Rasulullah mengatakan, ini agar terbebas dari kehinaan, ke rendahan, ketundukan, dan membutuhkan kepada selain Allah.
Syeikh Muhammad al Gha zali pernah berkata sejumlah besar Muslim meyakini bahwa pembawa risalah lebih mengutama kan kefakiran dibandingkan kaya, dan menyerukan untuk meminimalkan kekayaan. Dengan filosofi yang cengeng ini, mereka menyebarkan kefakiran di sejumlah besar umat Islam selama be berapa abad lamanya. Akibatnya, orang-orang itu menjadikan umat ini tidak mampu mengelola kun ci-kunci pembuka simpanan-simpanan kekayaan di bumi."
Padahal, bukankah perintah zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam dan kerap bersanding dengan perintah shalat dalam Alquran membutuhkan harta? Begitu pula berhaji yang menjadi ibadah fisik dalam rukun Islam juga membutuhkan pengeluaran yang tidak sedikit. Karena itu— alih-alih miskin—Rasulullah jus tru menunjukkan kepada kita jika beliau tetap menjadi miliuner meski hidupnya sederhana. Walla hu a'lam.