REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Imam Pituduh mengakui warga NU masih kalah di medan perang budaya pop. Ia pun mendorong warga NU untuk menggenjot kekuatan di sektor tersebut.
"Ada ruang kosong di kita dalam pop culture war seperti di sektor produksi televisi, musik, film, animasi, game, e-sport dan lain-lain," kata Imam dalam diskusi Sosial Media NU Gathering di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, Rabu (29/1).
Menurut dia, area budaya pop sejatinya juga merupakan area dakwah yang dapat dimanfaatkan seiring dengan syiar lewat cara-cara konvensional. Sebagai dampak dari lemahnya penggarapan ranah budaya pop, kata dia, warga NU kerap mengidolakan unsur-unsur di luar Nahdliyin.
Hal itu memang terlihat sepele tetapi sejatinya perang pemikiran melalui budaya dapat mempengaruhi cara berpikir individu atau kelompok. Untuk itu, dia mendorong agar warga NU dapat ikut serta dalam mengisi ranah budaya pop sehingga tetap memiliki jati diri bangsa yang berdaulat dengan tidak mudah hanyut oleh budaya impor.
"Kita kenapa tidak hadir di pop culture? Milenial suka musik, game, sport, film, yang bisa 'dikunyah' mereka. Apa kita sudah hadir? Pengajian tahlilan ini agar digarap kiai di dunia offline," kata dia.
Sebagai tolok ukur kekalahan Nahdliyin dan bangsa Indonesia pada umumnya di ranah budaya pop, kata dia, yaitu produksi di sektor popular culture nasional masih lemah. "Dari pop culture sedikit dari kita yang memproduksi tapi justru dari negara lain ada K-Pop, J-Pop, C-Pop, American Pop. Sementara dari NU tidak ada yang mengisi itu," kata dia.
Kekalahan bangsa di perang budaya, kata dia, juga diiringi dengan perang digital dengan gempuran aplikasi impor. "Konten aplikasi yang bersliweran itu dari negara lain. Jujur kita tidak berdaulat. Jika membuat, naskah codingnya masih belanja dari semua tidak kita produksi. Persaingan ini harus dimenangkan," katanya.