REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menjadi sorotan berbagai pihak. Hal ini menyusul banyaknya kasus yang mencuat terkait industri keuangan, salah satunya industri asuransi.
Pengamat BUMN Said Didu menilai OJK harus bertanggung jawab secara hukum atas permasalahan yang terjadi pada industri asuransi. Pertama, semua produk asuransi yang akan dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus atas persetujuan dari OJK.
Kedua, semua pejabat seperti komisaris hingga jajaran direksi perusahaan asuransi harus diuji oleh OJK. Ketiga, semua laporan keuangan asuransi dan langkah investasi perseroan dilaporkan ke OJK.
"Jadi OJK menentukan produk, orang, investasi dan sahkan laporan keuangan, tanggung jawab semuanya. Tapi kenapa OJK tidak disentuh?" ujarnya kepada Republika.co.id, Kamis (30/1).
Menurutnya OJK harus bisa memulihkan kepercayaan publik terhadap industri asuransi. Mengingat telah terjadi 300 ribu kasus penipuan sektor jasa keuangan.
"Saya sepakat memang kepercayaan harus dikembalikan, salah satu caranya dengan menghukum juga OJK. Kalau OJK belum dihukum, publik tidak akan pernah kembali percaya. Data dari saya menunjukan penipuan keuangan udah sampe 300 ribu,” ucapnya.
Saat ini industri keuangan memang tengah dirundung masalah. Pertama, kasus gagal bayar Jiwasraya yang berujung pada terungkapnya kasus korupsi di tubuh perusahaan. Kedua PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata atau ASABRI (Persero) yang juga mengalami kasus serupa.
Ketiga, kasus gagal bayar AJB Bumiputera. Hal itu awalnya terkuak pada 2010 lalu, di mana kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82 persen.
Artinya AJB Bumiputera tidak bisa mematuhi amanat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 504 Tahun 2004 tentang solvabilitas perusahaan asuransi yang mencapai 100 persen. Pada 2012 lalu, jumlah aset yang dimiliki hanya Rp 12,1 triliun, tapi kewajiban perusahaan tembus Rp 22,77 triliun.
Keempat, Muamalat yang kini sedang mencari investor baru untuk menambah permodalan perusahaan. Kinerja keuangan Bank Muamalat semakin merosot pada semester satu 2019. Laba bersih perusahaan anjlok hingga 95,09 persen menjadi Rp 5,08 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 103,73 miliar.
Penurunan laba bersih sejalan dengan merosotnya pendapatan setelah distribusi bagi hasil perusahaan sebesar 68,1 persen. Alhasil, Bank Muamalat hanya membukukan pendapatan setelah distribusi bagi hasil sebesar Rp 203,34 miliar pada semester satu 2019 dari sebelumnya Rp 637,54 miliar.
Rasio kecukupan modal atau kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) Bank Mumalat juga turun dari 15,92 persen pada semester satu 2018 menjadi 12,01 persen pada semester satu 2019.