REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penularan virus corona yang terjadi di Wuhan, China, jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan virus sindrom pernapasan akut berat (SARS) yang terjadi pada 2002 silam. Namun, penularan virus corona bisa ditekan melambat asalkan penangannya dilakukan secara cepat.
Ketua Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Sarbini mengatakan, jika dibandingkan keganasan antara kedua virus tersebut, virus SARS masih jauh lebih ganas. Hanya saja, penularan virus corona yang berlangsung cepat saat ini dinilai karena adanya kegagapan dalam mengidentifikasi virus baru.
“Karena virusnya itu virus baru (corona), maka (pemerintah China) mungkin agak sedikit gagap,” kata Sarbini saat ditemui Republika, di kantor MER-C, Jakarta, Kamis (30/1).
Dia menjelaskan, kemungkinan cepatnya penularan virus corona terjadi lewat berbagai macam cara. Antara lain udara dan juga air liur. Untuk itu, kata dia, masyarakat di Wuhan perlu membentengi diri dengan selalu mengenakan masker.
Hingga, Kamis (30/1), Komisi Kesehatan Nasional China merilis data terbaru korban virus korona. Total terdapat 170 orang yang meninggal dunia akibat wabah tersebut. Sedangkan pada Rabu (29/1), warga China yang tertular mencapai 6.001 orang dan yang menjadi suspect sebanyak 9.239 orang.
Jika dibandingkan dengan wabah SARS yang melanda China pada 2002 silam, jumlah kasus tercatat sebanyak 5.327 dengan 349 total kematian. Dengan realita data tersebut, Sarbini mengungkapkan bahwa banyaknya jumlah korban corona bukan indikator satu-satunya yang disebut sebagai wabah penyakit yang lebih berbahaya dari pada SARS.
Dia menjelaskan, kegagapan pemerintah China dalam menangani virus baru terbilang wajar sebab virus korona memiliki karakteristik yang sulit diidentifikasi pada gejala awal. Sedangkan virus SARS, kata dia, sudah langsung diketahui sebab mengganggu pernapasan dan kerongkongan.
“Kalau corona itu kan korban atau suspect-nya itu hanya flu, jadi mungkin agak sulit dikenali virus baru ini,” ungkapnya.
Pihaknya juga menyangkan adanya informasi yang beredar di sosial media mengenai corona. Misalnya saja mengenai video-video yang viral tentang kematian seseorang dengan cepat akibat virus corona. Informasi yang keliru ini menurut dia justru akan membuat masyarakat menjadi paranoid.
“Kita boleh waspada, itu penting, tapi tidak boleh paranoid. Dan informasi yang beredar, kadang-kadang suka simpang-siur,” ujarnya.
Karena terdapat permintaan dari Warga Negara Indonesia (WNI) di Wuhan yang menginginkan MER-C ikut serta dalam evakuasi, kata dia, pihaknya segera melakukan strategi. Salah satunya dimulai dengan menjalin komunikasi dengan pemerintah dan lembaga lainnya terlaksana.
Meski Pemerintah China telah mengumumkan bahwa puncak wabah corona bakal terjadi pada 10 hari mendatang, pihaknya mengaku hal itu bukanlah sebuah kendala. Dia menegaskan bahwa MER-C merupakan lembaga relawan kesehatan yang profesional dalam menangani sebuah wabah.
“Kita ada prosedur, ada ahli-ahli, jadi insyaAllah (kami) tidak masalah dengan pengumuman adanya puncak wabah tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu Pemerintah Indonesia menyebut, jika evakuasi dilakukan maka waktu inkubasi yang dibutuhkan adalah selama 28 hari. Presidium dan juga Dewan Pendiri MER-C Yogi Prabowo menilai, waktu inkubasi memiliki standar tersendiri dan juga penilaian.
“Selama karantina, semua (pasien) akan diawasi. Ketika berangkat misalnya satu detik sebelum berangkat ke Indonesia dia kena, maka itu waktu yang paling dekat. Maka ketika dia diobservasi, orang itu harus ditangani, tapi kalau sudah lewati masa inkubasi dan tidak timbul gejala maka keluar dari pengawasan,” ujarnya.
Adapun batas-batas waktu itu, kata dia, tergantung dari penilaian para ahli yang menilainya. Namun dia mengatakan, sejauh ini masa inkubasi yang dikenal itu selama 2-14 hari. Hanya saja bila Pemerintah Indonesia merekomendasikan perpanjangan masa inkubasi, hal itu dinilai baik. “No problem (inkubasi 28 hari),” pungkasnya.