REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengumumkan peringatan bagi warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke China dalam waktu dekat. Peringatan dirilis menyusul penetapan wabah virus Corona baru oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai darurat kesehatan global.
Imbauan perjalanan luar negeri ke China oleh Departemen Luar Negeri AS masuk ke tingkat yang sama dengan imbauan tak melakukan perjalanan ke Irak dan Afghanistan. "Jangan berpergian ke China karena virus Corona baru yang pertama kali diidentifikasikan di Wuhan, China," demikian pengumuman berdasarkan web resmi Departemen Luar Negeri AS.
Kendati demikian, Beijing belum mengomentari peringatan perjalanan AS ke China tersebut. Namun sebagai tanggapan terhadap pernyataan WHO, seorang juru bicara kementerian luar negeri China mengatakan pihak pemerintah China telah mengambil langkah pencegahan dan kendali yang paling komprehensif dan ketat di China.
"Kami memiliki keyakinan dan kemampuan penuh untuk memenangkan perang melawan epidemi ini," kata juru bicara Kemenlu China, Hua Chunying.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan pihaknya tidak merekomendasiskan dan menentang pembatasan perjalanan ataupun perdagangan dengan China.
Hingga Jumat (31/1) jumlah korban meninggal dunia akibat virus Corona baru di Hubei saja mencapai 204 dan terdapat 9.629 kasus infeksi sescara nasional China. Sementara sebanyak 129 kasus telah dilaporkan menyebar ke 22 negara dan wilayah, meski kematian hanya terjadi di China.
Merebaknya kekhawatiran penyebaran virus Corona baru ini membuat beberapa negara menangguhkan sejumlah penerbangannya ke China. Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte mengatakan semua lalu lintas udara antara Italia dan China akan berhenti.
Ini merupakan tindakan yang lebih drastis daripada yang dilakukan sebagian besar negara, setelah Italia mengumumkan kasus pertama yang dikonfirmasi pada dua wisatawan China. Semakin banyak maskapai berhenti terbang ke daratan Cina, termasuk KLM SA Air France, British Airways, Lufthansa Jerman dan Virgin Atlantic, sementara yang lain mengurangi penerbangan seperti Turki Airlines.
Presiden maskapai Jepang ANA Holdings (9202.T) mengatakan perusahaan itu mungkin mempertimbangkan untuk menangguhkan penerbangan China. Hingga kini pula, pemerintah negara-negara terus mengevakuasi warganya dari Hubei dan menahan mereka di karantina.
Statistik dari China menunjukkan bahwa lebih dari dua persen orang yang terinfeksi telah meninggal. Ini menunjukkan bahwa virus itu mungkin kurang mematikan dibandingkan dengan virus Corona pada Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) dan Sindrom Pernafasan Timur Tengah (MERS) pada 2002 -2003.