REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Helikopter yang mengalami kecelakaan dan menewaskan bintang NBA Kobe Bryant disebut tidak memiliki sertifikat untuk diterbangkan saat tingkat visibilitas rendah karena hanya bisa mengandalkan instrumen kokpit. Helikopter jenis Sikorsky S-76B itu cuma diizinkan beroperasi ketika pilot bisa melihat dengan jelas ke luar pada hari terang.
"Hanya ada satu cara kalian bisa berada di awan, lewat rencana penerbangan instrument flight rules (IFR) atau karena kecelakaan," kata pilot dan mantan manajer keselamatan perusahaan Island Express Helicopters, Kurt Deetz kepada New York Times, seperti dikutip Reuters, Jumat.
Meski demikian, helikopter yang membawa Byrant, putrinya Gianna, dan tujuh orang lainnya dilengkapi dengan instrumen penerbangan yang layak. Deetz mengatakan bahwa sang pilot, Ara Zobayan, memang memiliki izin untuk instrument flying, namun kemungkinan besar tak cukup berpengalaman dalam melakukan hal itu karena batasan operasional dari perusahaan tempat ia bekerja.
Helikopter bermesin ganda itu menabrak bukit di Calabasas, Kalifornia, pada Ahad. Ketika itu, cuaca setempat tengah diselimuti awan dan kabut yang menghalangi pandangan.
Petugas pengatur lalu lintas udara telah memberi Zobayan special visual flight rules atau izin terbang dalam kondisi cuaca yang kurang optimal di sekitar bandara Burbank. Menurut laporan New York Times, sang pilot mengatakan bahwa tingkat visibilitas cukup untuk melakukan penerbangan visual, namun cuaca kelihatannya memburuk di saat penerbangan berlangsung.
Island Express Helicopters sementara ini menghentikan sementara seluruh layanannya. Pihak manajemen mengatakan, kecelakaan yang mengagetkan ini memengaruhi semua staf.
"Manajemen memutuskan layanan dihentikan sementara waktu karena inilah yang dipandang terbaik untuk staf dan pelanggan."
Penyelidikan jatuhnya helikopter yang ditumpangi Kobe Bryany dan putrinya bersama tujuh orang penumpang lainnya.
Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB) telah menyatakan bahwa helikopter yang ditumpangi pebasket legendaris itu naik ke ketinggian lebih dari 1.000 kaki untuk menghindari awan sebelum terjatuh. Pilot helikopter itu menyampaikan posisi terakhirnya kepada pengawas lalu lintas udara dalam pesan radio.
Jennifer Homendy dari NTSB mengatakan, radar mengindikasikan bahwa helikopter itu mencapai ketinggian 2.300 kaki sebelum jatuh di lereng bukit. Penyelidik NTSB pergi ke lokasi kecelakaan pada Senin untuk mengumpulkan bukti.
"Sebaran puingnya cukup luas. Sepotong ekornya menuruni bukit, badan helikopter ada di sisi lain bukit dan rotor utama berada sekitar 100 yard (91 meter) di luar itu," ujar Homendy.
Homendy mengatakan, pilot telah meminta dan menerima izin khusus untuk terbang dalam kabut tebal beberapa menit sebelum kecelakaan. Helikopter itu terbang pada ketinggian 1.400 kaki (427 meter) ketika melaju ke selatan dan kemudian ke barat.
Pilot kemudian meminta pengontrol lalu lintas udara untuk memberikan bantuan radar. Namun, helikopter tersebut terbang terlalu rendah sehingga tidak terjangkau dengan radar. Sekitar empat menit kemudian pilot disarankan meningkatkan ketinggian untuk menghindari awan.
“Ketika ATC bertanya apa yang dilakukan oleh pilot, tidak ada jawaban. Data radar menunjukkan helikopter naik ke 2.300 kaki (701 meter) dan kemudian mulai berbelok ke kiri. Kontak radar terakhir adalah sekitar jam 09.45 pagi," kata Homendy.
Dua menit kemudian, warga menelpon 911 dan melaporkan kecelakaan itu. Beberapa ahli menyatakan bahwa pilot diduga bingung mengendalikan helikopter karena kabut. Namun, Homendy mengatakan, tim investigasi akan melihat segala kemungkinan penyebab kecelakaan mulai dari sejarah pilot hingga mesin.
"Kami melihat faktor manusia, mesin, dan lingkungan. Sementara faktor cuaca hanya sebagian kecil," ujar Homendy.