REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Gugatan teknologi pengenal wajah yang diterapkan di Moskow, Rusia, disidangkan pada Jumat (31/1). Tuntutan itu dilakukan atas dasar kekhawatiran privasi.
Moskow telah meningkatkan upayanya untuk meluncurkan teknologi pengenalan wajah selama setahun terakhir. Wilayah itu membelanjakan atau mengalokasikan setidaknya 3,3 miliar rubel untuk perangkat keras proyek tersebut.
Pengadaan itu sesuai dengan keinginan Walikota Moskow Sergei Sobyanin dalam target 200 ribu kamera di seluruh kota. Sebanyak 175 ribu di antaranya sudah terpasang. Kamera-kamera itu dapat memantau 12,5 juta penduduk di ibukota Rusia sejak 1 Januari.
Pengacara dan aktivis Alena Popova dan politisi oposisi Vladimir Milov dari partai Solidarnost mengajukan kasus terhadap Departemen Teknologi Moskow (DIT). Dia berusaha untuk melarang penggunaan teknologi itu di acara-acara massa dan protes.
Gugatan tersebut merupakan upaya kedua Popova untuk melarang teknologi pengenalan wajah di Moskow setelah gugatan November dibatalkan. Popova didenda karena tampil di sebuah protes di Moskow pada 2018. Namun, dia menuduh pihak berwenang hanya menetapkan identitasnya menggunakan teknologi pengenalan wajah.
Sedangkan DIT menyatakan melalui situs webnya, penggunaan pengawasan video di daerah ramai berguna untuk memastikan keamanan. Rekaman video pun akan dihapus dalam lima hari setelah insiden, kecuali permintaan dari publik atau penegakan hukum dilakukan.
Popova menuduh bahwa penggunaan data pribadi berarti ini merupakan pengawasan ilegal. DIT pun enggan berkomentar atas tuduhan tersebut.
Pengoperasian teknologi ini dilakukan oleh NtechLab, sebuah perusahaan swasta yang didirikan pada 2015. Perusahaan ini memenangkan hak eksklusif untuk menyediakan layanan deteksi video terpadu dengan kontrak 200 juta rubel.
Perangkat lunak perusahaan sekarang bekerja di 105 ribu kamera di pintu masuk ke gedung-gedung di Moskow. Perangkat lunak pengenalan wajah dibagi menjadi deteksi dan pengenalan. Ini bekerja dengan mendeteksi wajah dan mengonversi gambar ke file digital unik yang kemudian dapat dipindai dalam database.
CEO NtechLab Alexander Minin mengatakan, perusahaannya tidak menyimpan data pribadi apa pun. Teknologi pengenalan wajah sering disalahpahami. "Saya mengerti selalu ada tantangan antara privasi dan keselamatan," ujarnya.
Tapi, Minin meyakini, dibeberapa negara dan wilayah yang menerapkan undang-undang dan peraturan yang tepat akan sangat berguna. "Saya pikir hasil yang kami dapatkan melalui sistem sangat besar dan orang-orang dengan cepat merasa lebih aman dan itu mengubah kualitas hidup," katanya.
Kasus berkenaan dengan pengenal wajah pun terjadi di negara-negara lain. Paling baru terjadi di India negara bagian Telangana memanfaatkan teknologi tersebut untuk memverifikasi pemilih di 10 Tempat Pemungutan Suara. Keputusan untuk pertama kali di India ini pun mendapatkan kritikan karena kekhawatiran tentang privasi dan pengawasan.
Menerapkan teknologi tersebut dalam pemilihan tidak memiliki kerangka hukum yang jelas. Terlebih lagi, tidak ada penjelasan cara yang digunakan untuk membuat data aman dan tidak digunakan untuk hal lainnya.
Sedangkan pihak berwenang India beralasan, teknologi itu diperlukan untuk mendukung negara dalam pengawasan yang saat ini begitu longgar. Dengan memanfaatkan teknologi tersebut, akan lebih mudah menghentikan kejahatan dan menemukan anak-anak yang hilang.