REPUBLIKA.CO.ID, SHAH ALAM — Mantan akademisi asal Malaysia, Nik Abdul Aziz Nik Hassan telah membela laporan mengenai administrasi Islam yang ditugaskan oleh gerakan G25, setelah adanya kritik dari sejumlah kelompok konservatif, karena dianggap menentang hukum anti-murtad dalam agama. Menurutnya, para kritikus gagal untuk memahami sifat non-teologis dari laporan tersebut.
“Mereka menyiratkan bahwa itu menyerang Islam dan hukumnya. Mereka gagal melihat dari laporan ini,” ujar Hassan kepada FMT dalam sebuah wawancara pada Jumat (31/1).
Laporan setebal 200 halaman yang dirilis pada 11 Januari berjudul ‘Administration of Matters Pertaining to Islam’ (Administrasi Masalah-Masalah yang Berkaitan dengan Islam) mengevaluasi penanganan pihak berwenang atas urusan Muslim melalui berbagai undang-undang dan lembaga. Namun, kritik terhadap penerapan hukum tentang murtad, di bawah hukum syariah Malaysia mendapat reaksi keras dari beberapa pihak.
Salah satunya adalah Abdul Hadi Awang, kepala PAS yang menyebut bahwa G25 adalah organisasi berbahaya dan para anggota di dalamnya tidak mengetahui apapun tentang Islam. Hassan yang telah menulis makalah dan buku tentang sejarah keilmuan Islam di wilayah Melayu, mengatakan komentar itu tidak bertanggung jawab.
Menurut Hassan, para anggota G25 terdiri dari individu-individu yang memahami karya ulama-ulama besar Islam dari seluruh penjuru dunia. Ia mengatakan bahwa mengklaim organisasi itu berisikan orang-orang yang tak memahami Islam adalah hal yang sangat salah dan tidak adil.
“Untuk mengatakan bahwa saya (sekalipun bukan seorang ulama) tidak mengetahui tentang Al Qur’an membuat saya merasa sangat terluka,” jelas Hassan.
Lebih lanjut, Hassan mengatakan pendirian atas kemurtadan hanyalah salah satu bagian dari masalah yang lebih besar dalam administrasi Islam di Malaysia selama beberapa dekade. Hal ini pun telah dirinci dalam laporan G25.
Hassan mengatakan banyak kritikus laporan G25 yang nampaknya tidak menghargai historis Islam dengan pandangan beragam. Ia menilai perdebatan tentang kemurtadan di Malaysia menderita ketidaktahuan tentang sejarah awal Islam.
Sebagai contoh, pendapat dari seorang mufti, Harussani Zakaria bahwa kemurtadan adalah kejahatan serius karena khalifah Muslim pertama Abu Bakar telah berperang melawan mereka yang meninggalkan kepercayaan mereka. Hassan melihat bahwa argumen seperti ini mengabaikan konteks sejarah.
“Secara teknis Anda mengaburkan pikiran sesama Muslim, yang ironisnya adalah apa yang kami tuduhkan,” kata Hassan menambahkan.
Dalam laporan G25 disebutkan bahwa menerapkan hukum kemurtadan di bawah syariah menimbulkan masalah konstitusional dan birokrasi. Selain itu, ini juga mengatakan bahwa menghukum umat Islam yang meninggalkan kepercayaan mereka bertentangan dengan semangat Islam, yakni kebebasan memilih dan menambahkan bahwa topik tersebut masih menjadi bahan perdebatan di antara para ahli hukum Islam.
"Jadi, seorang Muslim dapat memilih untuk meninggalkan Islam. Ini bukan hak seperti itu, tetapi seseorang yang menjalankan pilihan mereka. Meninggalkan Islam adalah sesuatu yang disesalkan dan saat itu akan tetap dinasehati agar berada dalam kepercayaan ini,” tulis laporan G25.
Dalam kesimpulan tentang kemurtadan, laporan G25 mengatakan jika seorang Muslim tetap memilih demikian, yaitu keluar dari agamanya, maka ini menjadi urusan antara ia dan Tuhan. Tidak ada hukuman duniawi yang disiapkan dan disebutkan dalam Al Qur’an.
Hassan mengatakan ada kebutuhan untuk menempatkan contoh-contoh perspektif kemurtadan di Malaysia untuk mengukur apakah itu menjamin hukuman. Ia juga melihat statistik menunjukkan bahwa sebagian besar dari orang-orang yang meninggalkan Islam adalah mereka yang mualaf atau berasal dari agama lain sebelum memeluk Islam.
“Jika tidak ada implikasi terhadap negara, maka biarkan saja. Kita tidak bisa menghentikan mereka, terutama jika mereka bersikeras meninggalkan iman setelah menasihati mereka," jelas Hassan.