REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Indonesia sampai saat ini masih menjadi importir garam. “Periode 2010 – 2019 rata-rata produksi garam nasional 1,6 juta ton/tahun. Kebutuhan garam nasional 3,5 juta ton/tahun. Indonesia mengimpor garam 2,3 juta ton/tahun, senilai 90 juta dolar AS/ tahun),” kata pakar kelautan dan perikanan, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Ia mengemukakan hal tersebut pada Sosialisasi Nasional PUGAR “Nilai Ekonomi Garam sebagai Produk Kelautan Indonesia” di Semarang, Kamis (30/1). Acara itu diadakan oleh Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Ia mengatakan, secara potensi, Indonesia sebetulnya bisa segera swasembada garam. “Bahkan, Indonesia bisa menjadi produsen garam terbesar dunia dan eksportir garam,” kata Rokhmin.
Untuk itu, Rokhmin menambahkan, kebijakan pembangunan Indonesia terkait garam perlu diarahkan pada perluasan areal (ekstensifikasi) usaha tambak garam berbasis evaporasi menjadi 30 ribu ha pada 2020, 40 ribu ha pada 2021, 50 ribu ha pada 2022, 60 ribu ha pada 2023, dan 70 ribu ha pada 2024.
“Dengan aplikasi teknologi evaporasi mutakhir dan modern (seperti Ulir Filter dan Geomembrane), kita tingkatkan produktivitas tambak garam dari sekarang 60 – 70 ton/ha/tahun menjadi 120 ton/ha/tahun,” tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Rokhmin mengemukakan, perluasan areal tambak garam dan aplikasi teknologi evaporai mutakhir dan modern akan menghasilkan produksi garam nasional: 3,6 juta ton (2020); 4,8 juta ton (2021); 6 juta ton (2022); 7,2 juta ton (2023); dan 8,4 juta ton (2024).
“Karena kebutuhan garam nasional saat ini sekitar 3,5 juta ton per tahun, maka mulai tahun ini kita mestinya mampu swasembada,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu.
Prof Rokhmin Dahuri mengupas tantangan dan peluang industri garam nasional.
Lebih jauh lagi, kata dia, dengan upaya peningkatan kualitas garam rakyat menjadi garam industri. Penelitian dan pengembangan aplikasi teknologi produksi garam berbasis non-evaporasi, seperti: deep-shaft mining (batuan garam), solution mining (sumur air garam), rock salt, dan vacuum salt.
“Bila ketiga langkah kebijakan di atas dilaksanakan secara serius dan berkesinambungan, insya Allah Indonesia, secara teknis bukan hanya mampu berswasembada garam, tetapi juga bakal menjadi pengekspor garam utama dunia,” papar ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusangtara (MPN) itu.
Rokhmin juga mengusulkan perlunya memperbaiki dan mengembangkan sistem logistik garam nasional. Selain itu, pengembangan produksi garam secara kluster dan terintegrasi, serta perbaiki kuantitas dan kualitas data, dan menjadi ‘satu data’. “Tidak kalah pentingnya, tumpas tuntas kartel dan mafia garam, dan stop impor,” tegas ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Ia juga mengusulkan pentingnya menjadikan garam sebagai komoditas. "Sehingga, bisa dibuat penetapan harga dasar (HPP) yang menguntungkan petambak garam dan sekaligus tidak memberatkan konsumen,” ujar Rokhmin yang kini juga mendapatkan amanah sebagai coordinator/penasehat Bidang Daya Saing SDM, Inovasi Teknologi dan Riset Menteri Kelautan dan Perikanan.
Sebagai informasi, saat ini sebagian besar (84%) produsen garam nasional berupa petambak garam rakyat, sisanya dikelola oleh BUMN (PN Garam). Sampai saat ini produsen garam rakyat hanya menggunakan teknologi evaporasi dengan produktivitas relatif rendah (70-100 ton/ha/tahun). Selain itu, kualitas garam yang dihasilkan hampir seluruhnya untuk garam konsumsi dan industri mamin (makanan dan minuman).
“Hampir seluruh kebutuhan garam untuk industri nasional berasal dari impor. Impor tersebut terutama berasal dari Australia, India, Selandia Baru, Denmark, dan Jerman,” tuturnya.
Ia menambahkan, sejak 2010 Indonesia sejatinya sudah mampu swasembada garam konsumsi. Namun, hingga kini hampir semua kebutuhan garam industri nasional berasal dari impor.
“Ditenggarai, para pemegang kuota impor (mafia) selain mengimpor garam industri, juga garam konsumsi. Hal ini menyaingi produksi garam konsumsi dari tambak rakyat. Sehingga, harga garam tambak rakyat acap kali jatuh, lebih rendah dari biaya produksi (BEP)-nya. Seperti yang terjadi selama dua tahun terakhir,” paparnya.