REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Kabar duka menyelimuti Tanah Air. Pada Ahad (2/2) malam, KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah berpulang ke rahmatullah.
Sebelumnya, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng itu sempat mengalami kondisi kritis usai operasi jantung di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Berita duka itu disampaikan putranya, Irfan Asy’ari Sudirman Wahid (Gus Ipang).
“Innalillahiwa inna ilaihi raaji’un. Gus Sholah baru saja wafat, pada pukul 20.55 (WIB). Mohon dimaafkan seluruh kesalahan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu,” tulis Gus Ipang melalui akun Twitter-nya, @ipangwahid, Ahad (2/2) malam.
Republika baru-baru ini sempat mewawancarai Gus Sholah dalam konteks menjelang perayaan hari lahir (harlah) Nahdlatul Ulama (NU) yang ke-94. Dan mungkin ini menjadi wawancara terakhir yang dilakukan Republika bersama Gus Sholah.
Dalam bincang-bincang itu, adik kandung Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tersebut menyampaikan pesan-pesan khususnya untuk warga Nahdliyin dan Jam’iyah NU.
Menurut beliau, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dapat terus meningkatkan kemampuan terutama dalam mengelola organisasi. Dengan begitu, NU menjadi lebih mandiri. Hal ini sejalan dengan acara Harlah ke-94 NU pada 31 Januari lalu yang mengambil tema “Meneguhkan Kemandirian NU untuk Perdamaian Dunia.”
“Kelemahan NU justru di organisasi. Itu yang harus diperbaiki. Harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis. NU harus konsisten pada posisinya di dalam masyarakat sipil,” ujar Gus Sholah saat dihubungi Republika, Selasa (21/1) lalu.
Dalam hal ini, beliau mengingatkan kembali utamanya warga Nahdliyin tentang Khittah 1926. Wacana khittah menguat dalam Musyawarah Nasional (Munas) NU pada 18-21 Desember 1983 silam di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Ratusan alim ulama NU mencapai kesepakatan untuk kembali ke prinsip yang dibuat sejak lahirnya NU pada 1926.
Mengutip buku KHR As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, ungkapan “kembali pada khittah” berarti mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya. Peran Kiai As’ad saat itu penting dalam membulatkan keputusan tersebut, yakni keinginan agar NU yang sebelumnya terabik-cabik banyak kepentingan sesaat—terutama sejak menjadi sebuah partai politik—dapat pulih seperti sedia kala.
Berkaca dari sejarah masa silam, Gus Sholah berpesan agar NU tidak terseret arus politik praktis. Bagi beliau, keputusan Muktamar NU 1983 adalah sesuatu yang patut disyukuri.
“Hanya dengan cara itulah NU bisa bermartabat. Kalau ikut politik praktis, NU mengecilkan dirinya. Apalagi, mengidentikkan NU dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Warga NU yang memilih PKB itu cuma 15 persen,” ujar cucu Hadrastus Syekh KH Hasyim Asy’ari ini.
Bagaimana caranya agar NU menjadi lebih mandiri? Gus Sholah menjelaskan, NU pun harus dipimpin sosok-sosok yang berintegritas. Dalam arti, mereka yang tidak semata-mata berpikir politis, tetapi juga memiliki kemampuan berorganisasi. Beliau berharap, ke depannya Jam’iyah NU bisa lebih fokus untuk mengembangkan berbagai amal usaha.
“Pemimpin NU harus orang yang punya kemampuan berorganisasi. Karena, organisasi NU masih kurang baik. Jadi, amal usaha NU adalah fokus yang harus ditangani oleh organisasi NU, bukan urusan politik,” ucap Gus Sholah menegaskan.
Padahal, NU sejak awal berdiri sudah menunjukkan karakteristik organisasi mandiri. Maka dari itu, beliau menginginkan, tantangan zaman kini harus dijawab dengan mengedepankan mental kemandirian pula. Pada akhirnya, sikap seperti itu dapat membuat warga Nahdliyin lebih sejahtera.
“Dulu NU itu mandiri. NU itu kalau (mengadakan) muktamar, ongkos sendiri. Bikin kegiatan, ya melalui masyarakat yang ada. Tapi sekarang kan NU kurang mandiri,” kata dia.
Mau tidak mau, NU dinilainya harus meningkatkan amal usaha yang dimiliki. Hal itu bertujuan agar NU menjadi organisasi yang mandiri. Gus Sholah menambahkan, peningkatan kualitas dan kuantitas amal usaha NU pada akhirnya akan meninggikan kepedulian warga Nahdliyin terhadap organisasi.
“Kalau amal usaha yang ditingkatkan, maka kepedulian warga NU akan muncul. Sekarang, mereka (terkesan) enggak peduli karena tidak banyak amal usaha organisasi NU,” ujar Gus Sholah.
Ulama kelahiran tahun 1942 itu menjelaskan, pesanten-pesantren yang berkembang di seluruh Indonesia saat ini sebagiannya dimiliki warga Nahdliyin, bukan NU secara organisasi. Oleh karena itu, lanjut dia, sesungguhnya tidak begitu banyak amal usaha yang dimiliki organisasi NU.
“Saya ambil contoh. Ada 28 ribu pesantren. Sebagian besar itu milik warga NU, bukan organisasi NU. Karena itu, sekarang NU harus fokus ke situ (amal usaha). Membangun sekolah, membangun universitas, kemudian membantu warganya untuk aktif dalam kegiatan ekonomi,” katanya.
Gus Sholah memandang, bidang ekonomi selama ini belum tergarap secara maksimal oleh NU. Salah satu pekerjaan rumah (PR) besar NU dalam menyongsong usia satu abad ialah mendorong warga Nahdliyin agar giat menjadi wirausahawan.
“Itu yang paling penting. Menumbuhkan minat, punya gagasan, dan berani memulai usaha. Jadi, pelatihan-pelatihan wirausaha itu harus menjadi fokus NU juga,” jelas Gus Sholah.
Mengutip hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2013 lalu, populasi warga Nahdliyin diperkirakan mencapai 91,2 juta orang. Angka itu meliputi sekitar 36,5 persen dari total 249,9 juta jiwa penduduk Indonesia. Tentunya, jumlah tersebut terus berkembang sampai saat ini sehingga menjadi modal besar untuk menggerakkan ekonomi berbasis kewirausahawan.