Senin 03 Feb 2020 09:07 WIB

Catatan Hamka Soal Hubungan Muawiyah dan Ratu Sima di Jawa

Hamka menyebut Muawiyah mengirimkan utusan ke negerinya Ratu Sima.

Catatan Hamka Soal Hubungan Muawiyah dan Ratu Sima di Jawa. Foto: Buya Hamka
Catatan Hamka Soal Hubungan Muawiyah dan Ratu Sima di Jawa. Foto: Buya Hamka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membicarakan soal sejarah masuknya Islam ke Nusantara, tak bisa dipisahkan dengan sosok nama Prof Dr Hamka. Ulama dan sejarawan yang bernama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah dan akrab dipanggil Buya Hamka tersebut, termasuk yang meyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada masa awal-awal perkembangan Islam.

Dalam catatan Hamka di bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam, Hamka menggaris bawahi tentang catatan China yang menyatakan bahwa di Chopo ada sebuah kerajaan berhama Holing. Pada 674-675 M, diangkat seorang ratu kerajaan tersebut bernama Sima yang menjadi pemimpinnya.

Baca Juga

Negeri Holing itu sangat aman dan makmur sejak Ratu Sima memerintah dengan sangat adil dan menjaga keamanan. Kabar negeri itu didengar oleh Raja Ta-Cheh. Lalu, Raja Ta-Cheh itu mengutus orang ke Negeri Sima untuk membuktikan informasi itu.

Oleh utusan tadi, dicecerkan pundi-pundi emas di tanah yang masuk dalam wilayah Kerajaan Sima. Namun, setelah berhari-hari, tidak ada satu pun orang yang mengambilnya.

Akhirnya, setelah tiga tahun pundi-pundi emas itu tergeletak begitu saja di jalanan pusat kota Kerajaan Sima, datanglah putra ratu dan mengambil emas itu. Ratu Sima kemudian murka dan memerintahkan menteri-menterinya menghukum anak itu.

"Mulanya ratu memerintahkan hukuman mati, namun para menteri meminta agar hukuman itu diringankan, akhirnya hanya menjadi hukuman potong kaki putranya tersebut," tulis Buya Hamka.

Terkait dengan penelitian sejarah-sejarah kuno di Nusantara itu, Buya Hamka menyebutkan bahwa dapat disimpulkan bahwa yang dinamai oleh ahli sejarah dalam catatan China itu bahwa Chopo adalah Tanah Jawa, dan Holing adalah Kerajaan Kalingga. Sementara Ratu Sima, adalah Ratu Sima seorang raja perempuan di Kerajaan Kalingga pada masa itu, dan diakui pula dalam sejarah bahwa beberapa kali Kerajaan Kalingga mengirim utusan ke Negeri China.

Adapun Ta-Cheh, adalah nama yang diberikan oleh orang China kepada seorang Arab. Dalam catatan itu disebutkan yaitu Raja Ta-Cheh yang berarti Raja Arab.

"Maka, berkerutlah kening para peneliti di Barat itu mencari siapa agaknya Raja Ta-Cheh itu. Bahkan, ada saja yang mengambil keputusan bahwa catatan China itu  adalah dongeng saja. Tetapi belakangan ini sudah timbul dalam kalangan mereka yang meninjau kembali dengan seksama tulisan dalam catatan China itu,"tulis Hamka.

Hamka kemudian melanjutkan, bahwa Raja Besar Arab yang mahsyur pada masa itu adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Dia adalah salah satu sahabat Nabi dan peletak dasar kekhalifahan Dinati Bani Umayyah.

"Amat besar kemungkinan tidak ada orang lain tempat memasangkan Raja Ta-Cheh itu melainkan Muawiyah. Besar kemungkinan bahwa penyelidikan ke Tanah Jawa ini amat rapat persangkutannya dengan usaha beliau mendirikan armada Islam. Sebab, beliaulah yang mula-mula mendirikan armada angkatan laut dalam kekhalifahan Islam. Mungkin sekali bahwa setelah utusan itu atau mata-mata menyelidiki sendiri ke Tanah Jawa dan menguji informasi tentang keteguhan hati Ratu Simo. baginda hendak mengirim utusan memasuki pulau-pulau Melayu (Nusantara)," tulis Hamka.

Sementara, catatan lainnya yang menunjukkan adanya hubungan antara kekhalifahan Dinasti Umayyah dengan Nusantara juga tercatat dalam sejarah.

Dikutip dari tulisan berjudul Korespondensi Sriwijaya dengan Khalifah Bani Umayyah yang dimuat di Republika.co.id, Jumat 5 Oktober 2018 yang ditulis oleh Rizka K. Rahmawati, S Hum,  Alumni Program Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menyebutkan korespondensi antara Sriwijaya dengan Khalifah Umar bin Abdul Azis terjadi pada tahun 717-718 M, tak lama setelah utusan Muawiyah ke Kerajaan Sima.

Di situ ditulis, bahwa sejarawan Syed Q Fatimi yang juga penulis buku yang berjudul The Two Letters From The Maharaja To The Khalifah, menyebutkan di buku itu dijumpai kisah dari Nu’aym bin Hammad yang telah mengabadikan surat Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan Raja Sriwijaya.

“Nu’aym bin Hammad telah menulis, “Raja al-Hind mengirim surat untuk Umar bin Abdul Aziz, sebagai berikut: Dari Raja yang merupakan keturunan dari seribu raja, yang permaisurinya juga, adalah keturunan seribu raja, yang didalam kandangnya memiliki seribu gajah, dan yang memiliki wilayah dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, yang terdapat tanaman herbal, pala, dan kamper yang keharumannya menyebar ke jarak dua belas mil. Untuk Raja Arab, yang tidak menyekutukan Allah dengan yang lainnya. Saya telah mengirimkan kepada Anda, hadiah, yang tidak banyak, tetapi (hanya) sebuah salam dan saya berharap bahwa Anda dapat mengirimkan kepada saya seseorang yang bisa mengajari saya Islam dan memerintahkan saya dalam Hukum Islam, [atau dalam versi lain: Mungkin mengajari saya Islam dan menjelaskan kepada saya, perdamaian]."

Fatimi juga menunjukkan bukti lain yang dikutip oleh Ibn Taghri-Berdi dari karya seorang periwayat yang handal, yang tak lain adalah Ibnu Asakir (499/1105-571/1176):

“Saya telah mengirim Anda hadiah batu mulia amoer, wewangian, kamper. Terimalah dan jadikan aku sebagai saudara dalam Islam."

Surat tersebut terjadi pada tahun ke 99 H, atau 717-718 M. Lebih dalam lagi Fatimi meyakinkan kita bahwa surat yang ditulis oleh Umar bin Abdul Aziz tidak saja mengajak masuk Islam. Namun, khalifah menginginkan mereka juga memberikan kesetiaan kepada Khilafah Bani Umayyah.

Mereka harus mempertahankan wilayah mereka masing-masing, dan juga hak-hak mereka dijamin sama dengan hak kaum Muslimin. Dan yang terpenting adalah keterikatan mereka dengan kewajiban atau konsekuensi yang diberikan Khalifah ‘Umar kepada mereka. Raja-raja menyepakatinya, bahkan cenderung tunduk, status mereka yang berubah menjadi Muslim menjadi sebuah keharusan mengubah nama dengan nama Islam.

Ia membuktikan keabsahan surat tersebut dengan melihat kondisi yang terjadi di Nusantara pada masa itu. Tepatnya, kekuasaan Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan terbesar tidak hanya di Nusantara saja, tetapi di Semenanjung Malaya. Dan sangat mungkin melakukan hubungan dengan negara-negara lain di luar wilayah Sriwijaya. Yakni, korespondensi dengan Khilafah Bani Umayyah.

Bahkan, kebenaran surat dari Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dikuatkan dengan laporan dari China, bahwa Sriwijaya mengirim Zanji yang berarti seorang budak. Dalam pandangan Fatimi hal tersebut adalah bukti nyata adanya relasi Sriwijaya dengan orang Arab.

Bukti China tersebut menurutnya juga menyebutkan nama Raja dari Kerajaan Sriwijaya, yaitu She-li-pa-mo (Srindavarman). Walhasil, Islam benar telah diterima oleh Raja al-Hind, yang disini Sriwijayalah yang dimaksudkan.

Poin penting yang Fatimi tunjukkan kepada khalayak umum adalah surat dakwah khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz menunjukkan besar dan kuatnya keinginan politik Umat Islam pada saat itu. Jelas, kajian Fatimi telah membangkitkan minat ilmuan Muslim khususnya Asia Tenggara. Berharap, besarnya minat untuk menggali sejarah Islam lebih dalam, dan khususnya di Kawasan Timur.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement