REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang 2019 lalu, PT Pertamina (Persero) berhasil membukukan pendapatan sebesar 52,4 miliar dolar AS. Jika dibandingkan 2018, pendapatan Pertamina ini turun 3,7 miliar dolar AS.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina, Heru Setiawan menjelaskan pendapatan yang menurun di 2019 kemarin karena terpengaruh oleh harga minyak dunia yang merosot sepanjang 2019. Hal tersebut mempengaruhi Indonesia Crude Price (ICP). Penurunan ICP berdampak pada reveneu perusahaan yang memang mayoritas laba diperoleh dari sektor hulu.
"ICP 2019 sebesar 62,3 dolar AS per barel. Sedangkan di 2018 ICO 67,5 dolar AS per barel. Hal ini mempengaruhi pendapatan perusahaan. Memang meski laporan ini belum diaudit BPK," ujar Heru di Komisi VI DPR RI, Senin (3/1).
Pendapatan yang menurun ini akhirnya mempengaruhi laba perusahaan. 2019, Pertamina hanya membukukan laba sebesar 2,1 miliar dolar AS. Turun 400 juta dolar AS jika dibandingkan 2018 yang mencatat laba Pertamina sebesar 2,5 miliar dolar AS.
Anjloknya ICP juga membuat EBITDA perusahaan migas pelat merah ini menurun di 2019. EBITDA 2019 tercatat sebesar 8,2 miliar dolar AS, padahal di 2018 perusahaan mencatatkan EBITDA sebesar 9,2 miliar dolar AS.
Total aset Pertamina juga mengalami penurunan, pada 2019 tercatat aset perusahan sebesar 63,8 miliar dolar AS. Sedangkan di 2017 aset perusahaan mencapai 64,7 miliar dolar AS.
Heru menjelaskan pendapatan tersebut disokong oleh penjualan dari sisi hulu dan hilir perusahaan. Heru mencatat produktifitas perusahaan di hilir berkontrobusi paling banyak atas kondisi pendapatan perusahaan. Hanya saja, di sisi hulu memang yang paling mendapatkan profit.
"Revenue terbesar pertamina ada di downstream, namun sebagian besar profit dari hulu," ujar Heru.
Heru juga mengakui memang secara kinerja produksi di hulu sejak 2017 hingga 2019 mengalami penurunan hingga 20 ribu barel per hari. Namun Heru menjelaskan penurunan tersebut dikontribusikan dari penurunan produksi gas.
Namun dari sisi Penjualan, kata Heru untuk fuel perusahaan mengalami peningkatan penjualan sebesar tiga persen dari 67 juta KL pada 2018 menjadi 70 juta KL pada 2019. Sedangkan untuk non fuel, dalam hal ini elpiji dan petrokimia mengalami peningkatan penjualan dari 16 juta KL menjadi 17 juta KL.
"Untuk bensin, Premium 38 persen, 2019 kami berupaya untuk mengendalikan produk penugasan ini, jadi kami alihkan ke pertalite, yag tadinya 44 persen menjadi 54 persen," ujar Heru.